MAKALAH
KAIDAH HUKUM ISLAM
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Achmad Musyahid, M.Ag.
Disusun Oleh:
Hardianti.S (10300122096)
Keisya Haliza (10300122100)
PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUMFAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERIALAUDDIN MAKASSAR
2024
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan Rahmat, Hidayah dan Inayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Tanpa bantuannya, kami mungkin tidak akan memiliki pilihan untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Makalah kami diakumulasikan berdasarkan permintaan atau tugas yang diberikan oleh dosen kami. Selain itu, kami menyusun makalah ini dengan harapan makalah ini dapat bermanfaat dan menambah pemahaman bagi para pembacanya, dan bagi kami kelompok penyusunnya secara khusus. Makalah yang berjudul “Kaidah Hukum Islam” ini dikumpulkan berdasarkan data dan informasi dari berbagai sumber.
Afirmasi kami ingat untuk berbagi dengan orang-orang yang telah membantu dan mendukung selama waktu yang dihabiskan untuk menyiapkan makalah ini. Saya memahami bahwa makalah ini jelas memiliki kekurangan walaupun harus diperbaiki, oleh karena itu kami mengharapkan analisis dan ideide yang bermanfaat dari para pembaca. kami selaku penulis mohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini terdapat kesalahan penyusunan atau blunder yang berbeda-beda. Idealnya makalah ini dapat memberikan manfaat dan menambah informasi bagi para pembacanya.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengertian dan ruang lingkup al-Qawaid al-Fiqhiyyah (kaidah-kaidah hukum Islam) menjadi penting dalam konteks fikih karena mencakup berbagai hukum furu' yang sangat luas. Dalam pemahaman ini, qawaid (kaidah) merujuk pada aturan atau patokan, sementara fiqhiyah merujuk pada ilmu yang menerangkan hukum syariah yang amaliyah. Dengan demikian, al-Qawaid al-Fiqhiyyah adalah dasar-dasar fiqih yang bersifat umum dan menyeluruh, berisi hukum-hukum syara’ yang umum terhadap berbagai peristiwa hukum.
Ruang lingkup al-Qawaid al-Fiqhiyyah meliputi empat bagian utama, yaitu al-Asasiyyah al-Kubra, al-Kulliyyah, al-Madzhabiyyah, dan al-Mukhtalaf fiha fi al-Madzhab al-Wahid. Setiap bagian memiliki peran dalam memahami dan mengklasifikasikan masalah-masalah fikih yang beragam, memudahkan para mujtahid dalam meng-istinbat-kan hukum bagi suatu masalah dengan menggolongkan masalah serupa di bawah lingkup satu kaidah.
Kedudukan al-Qawaid al-Fiqhiyyah dalam studi fikih adalah penting karena merupakan simpul penyederhana dari masalah-masalah fikih yang begitu banyak. Kaedah-kaedah ini digunakan sebagai panduan bagi mujtahid dalam menetapkan hukum, baik sebagai dalil pelengkap setelah menggunakan Alquran dan Sunnah, maupun sebagai dalil mandiri yang berdiri sendiri. Tanpa adanya kaedah-kaedah ini, hukum fikih akan tersebar tanpa ikatan dasar yang mengarahkan, sehingga kaedah-kaedah ini membuka jalan bagi usaha mengadakan perbandingan dan memelihara konsistensi hukum Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan pengertian kaidah kaidah hukum islam (al-qawā‘id alfiqhiyyah)?
2. Jelaskan ruang lingkup al-qawaid al-fiqhiyyah?
3. Jelaskan kedudukan al-qawaid al-fiqhiyyah?
1
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengertian kaidah kaidah hukum islam (al-qawā‘id alfiqhiyyah).
2. Untuk mengetahui ruang lingkup al-qawaid al-fiqhiyyah.
3. Untuk mengetahui kedudukan al-qawaid al-fiqhiyyah.
BAB IIPEMBAHASAN
A. Pengertian Kaidah Kaidah Hukum Islam (al-Qawā‘id al-Fiqhiyyah)
Dalam pengertian ini ada dua terminologi yang perlu kami jelaskan terlebih dahulu, yaitu qawaid dan fiqhiyah. Kata qawaid merupakan bentuk jama' dari kata qaidah, dalam istilah bahasa Indonesia dikenal dengan kata 'kaidah' yang berarti aturan atau patokan, dalam tinjauan terminologi kaidah mempuyai beberapa arti.
Dr. Ahmad asy-Syafi'I menyatakan bahwa kaidah adalah:
القضايا الكلية التى يندرج تحت كل واحدة منها حكم جزئيات كثيرة
"Hukum yang bersifat universal (kulli) yang diikuti oleh satuan-satuan hukum juz'i yang banyak"
Sedangkan secara terminologi fiqh berarti, menurut al-Jurjani al-Hanafi:
العلم بالاحكام الشريعة العملية من ادلتها التفصلية وهو علم مستنبط بالرأي والاجتهاد ويحتاج فيه الى النظر
والتأمل
”ilmu yang menerangkan hukum hukum syara yang amaliyah ang diambil dari dalil-dalilnya yang tafsily dan diistinbatkan melalui ijtihad yang memerlukan analisa dan perenungan".
Dari uraian pengertian diatas baik mengenai qawaid maupun fiqhiyah maka yang dimaksud dengan qawaid fiqhiyah adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Tajjudin as-Subki:
الامر الكلى الذى ينطبق على جزئيات كثيرة تفهم احكامها منها
"Suatu perkara kulli yang bersesuaian dengan juziyah yang yang banyak yang dari padanya diketahui hukum-hukum juziyat itu".
Menurut Musthafa az-Zarqa, Qowaidul Fiqhyah ialah : dasar-dasar fiqih yang bersifat umum dan bersifat ringkas berbentuk undang-undang yang berisi hukum-
3
hukum syara’ yang umum terhadap berbagai peristiwa hukum yang termasuk dalam ruang lingkup kaidah tersebut.
B. Ruang lingkup al-Qawaid al-Fiqhiyyah
Menurut M. az-Zuhayliy dalam kitabnya al-Qawa’id al-fiqhiyyah berdasarkan cakupannya yg luas terhadap cabang dan permasalahan fiqh, serta berdasarkan disepakati atau diperselisihkannya qawa’id fiqhiyyah tersebut oleh madzhabmadzhab atau satu madzhab tertentu, terbagi pada 4 bagian, yaitu:
1. Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Asasiyyah al- Kubra, yaitu qaidah-qaidah fiqh yangg bersifat dasar dan mencakup berbagai bab dan permasalahan fiqh. Qaidah-qaidah ini disepakati oleh seluruh madzhab. Yang termasuk kategori ini adalah:
a. Al-Umuru bi maqashidiha.
b. Al-Yaqinu la Yuzalu bi asy-Syakk.
c. Al-Masyaqqatu Tajlib at- Taysir.
d. Adh-Dhararu Yuzal,
e. Al- ’Adatu Muhakkamah.
2. Al-Qawa’id al-Kulliyyah : yaitu qawa’id yang menyeluruh yang diterima oleh madzhab-madzhab, tetapi cabang-cabang dan cakupannya lebih sedikit dari pada qawa’id yang lalu. Seperti kaidah: al-Kharaju bi adhdhaman/Hak mendapatkan hasil disebabkan oleh keharusan menanggung kerugian, dan kaidah: adh-Dharar al- Asyaddu yudfa’ bi adh-Dharar alAkhaf Bahaya yang lebih besar dihadapi dengan bahaya yang lebih ringan. Banyak kaidah- kaidah ini masuk pada kaidah yang 5, atau masuk di bawah kaidah yg lebih umum.
3. Al-Qawa’id al-Madzhabiyyah (Kaidah Madzhab), yaitu kaidah-kaidah yang menyeluruh pada sebagian madzhab, tidak pada madzhab yang lain.
Kaidah ini terbagi pada 2 bagian:
a. Kaidah yang ditetapkan dan disepakati pada satu madzhab.
b. Kaidah yang diperselisihkan pada satu madzhab.
Contoh, kaidah: ar-Rukhash la Tunathu bi al- Ma’ashiy Dispensasi tidak didapatkan karena maksiat. Kaidah ini masyhur di kalangan madzhab
Syafi’i dan Hanbali, tidak di kalangan mazhab Hanafi, dan dirinci di kalangan madzhab Maliki.
4. Al-Qawa’id al-Mukhtalaf fiha fi al-Madzhab al-Wahid, yaitu kaidah yang diperselisihkan dalam satu madzhab. Kaidah-kaidah itu diaplikasikan dalam satu furu’ (cabang) fiqh tidak pada furu’ yg lain, dan diperselisihkan dalam furu’ satu madzhab.
Contoh, kaidah: Hal al-’Ibroh bi al-Hal aw bi al-Maal?/Apakah hukum yang dianggap itu pada waktu sekarang atau waktu nanti? Kaidah ini diperselisihkan pada madzhab Syafi’i. oleh karena itu pada umumnya diawali dengan kata :hal/ /apakah.
C. Kedudukan al-Qawaid al-Fiqhiyyah
Hal yang berhubungan dengan fikih sangat luas, mencakup berbagai hukum furu'. Karena luasnya, maka itu perlu ada kristalisasi berupa kaedah-kaedah umum (kulli) yang berfungsi sebagai klasifikasi masalah-masalah furu' menjadi beberapa kelompok.Dan tiap-tiap kelompok itu merupakan kumpulan dari masalah-masalah yang serupa. Hal ini akan memudahkan para mujtahid dalam meng-istinbat-kan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan masalah yang serupa dibawah lingkup satu kaedah.
Dalam pembahasannya, al-qawaid al-fiqhiyyah sering menggunakan sistematika atas dasar keabsahan kaedah, atas dasar abjad, atau berdasarkan sistematika fikih. Berdasarkan keabsahan kaedah, dibagi atas kaedah-kaedah asasiah dan kaidah-kaidah gairu asasiah. Jaih Mubarok membedakan kedudukan kaedah fikih menjadi dua, yaitu dalil pelengkap dan dalil mandiri. Yang dimaksud dengan dalil pelengkap adalah bahwa kaedah fikih digunakan sebagai dalil setelah menggunakan dua dalil pokok, yaitu Alquran dan sunnah. Sedangkan yang dimaksud dengan dalil mandiri adalah bahwa kaedah fikih digunakan sebagai dalil hukum yang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok.
Atas dasar kenyataan itu, kedudukan kaedah fikih dalam konteks studi fikih adalah simpul penyederhana dari masalah-masalah fikih yang begitu banyak. Untuk itu, al-Syaikh Ahmad Ibn al-Syaikh Muhammad al-Zarqa' berpendapat "kalau saja tidak ada kaedah fikih ini, hukum fikih yang bersifat furu'iyyat akan tetap bercerai-berai Abd al-Wahab Khallaf dalam kitab Ushul Figh-nya berkata bahwa nash-nash tasyri telah mensyariatkan hukum terhadap berbagai macam undang-undang, baik mengenai perdata, pidana, ekonomi dan undang-undang dasar telah sempurna dengan adanya nash-nash yang menetapkan prinsip-prinsip umum dan aturan-aturan tasyri' yang kulli yang tidak terbatas terhadap suatu cabang undang-undang.
Prinsip-prinsip umum dan aturan-aturan kulli tersebut memang dibuat sebagai petunjuk bagi mujtahid dalam menetapkan hukum dan menjadi pelita untuk mewujudkan keadilan dan kemaslahatan umat Karena Alquran hanya menerangkan dasar-dasar yang menjadi sendi-sendi hukum itulah maka tampak keluasan dan elastisitas hukum Islam.
Ungkapan Khallaf tersebut mengisyaratkan bahwa lapangan fikih begitu luas, karena mencakup berbagai hukum furu', karena itu perlu adanya kristalisasi berupa kaedah-kaedah kulli yang berfungsi sebagai klasifikasi masalah-masalah furu menjadi beberapa kelompok, dan tiap-tiap kelompok itu merupakan kumpulan dari masalah-masalah yang serupa. Dengan berpegang kepada kaedahkaedah fikih (al-qawaid al- fiqhiyyah), para mujtahid merasa lebih mudah dalam meng-istinbat-kan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan masalah serupa di bawah lingkup satu kaidah. Banyak fuqaha' yang menyebutkan:
من راعي الأصول كان حنيناً بالوصول ومن راعي الموعد كان خليقاً بإدراك المقاصد
"barang siapa memelihara ushul, maka ia akan sampai pada maksud, dan barang siapa yang memelihara al-qawaid selayaknya ia mencapai maksud".
Ungkapan tersebut menghantarkan kepada kepada kesimpulan bahwa kaedah- kaedah itu menyingkapkan jalan-jalan yang ditempuh oleh para ahli fikih sehingga kita dapat mencontoh metode yang mereka tempuh. Andaikata kaedahkaedah itu tidak ada, tentulah hukum-hukum fikih merupakan cabang-cabang yang berserak-serak tanpa ikatan dasar yang mengarahkan dan membuka jalan bagi usaha mengadakan perbandingan.
Sebagai sebuah kemaslahatan yang hakiki, maka memelihara agama, jiwa, akal, harta dan keturunan hanya dapat ditemukan landasannya dalam Alquran dan hadis dengan nas-nasnya yang mu'tabarah atau kemaslahatan itu dinyatakan secara tegas oleh nas Alquran dan hadis. Mengungkap kemaslahatan yang terdapat dalam nas harus berpegang pada dua hal, yaitu; Pertama, berpegang pada petunjuk kebahasaan dan pemahaman kaidah bahasa Arab di mana teks tersebut memiliki hubungan langsung dengan Alquran dan sunnah. Kedua, berpegang pada petunjuk nabi dalam memahami hukum-hukum dari Alquan dan penjelasan sunnah atas hukum-hukum Al-qur’an itu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Al-Qawaid al-Fiqhiyyah merupakan aturan atau patokan hukum Islam yang mencakup dasar-dasar fiqih yang bersifat umum dan ringkas.
2. Ruang lingkup al-Qawaid al-Fiqhiyyah terbagi menjadi empat bagian utama, yang mencakup kaidah-kaidah dasar yang disepakati oleh seluruh madzhab hingga kaidah-kaidah yang diperselisihkan dalam satu madzhab.
3. Kedudukan al-Qawaid al-Fiqhiyyah sangat penting dalam studi fikih karena menyederhanakan masalah-masalah fikih yang kompleks dan luas, membantu para mujtahid dalam menetapkan hukum bagi suatu masalah.
4. Kaedah-kaedah fikih digunakan sebagai panduan dalam menetapkan hukum, baik sebagai pelengkap setelah menggunakan Alquran dan Sunnah, maupun sebagai hukum yang berdiri sendiri.
5. Kesimpulan dari penjagaan al-Qawaid al-Fiqhiyyah adalah bahwa kaedah-kaedah ini menyingkapkan jalan-jalan yang ditempuh oleh para ahli fikih, memungkinkan kita untuk mencontoh metode yang mereka tempuh. Tanpa adanya kaedah-kaedah ini, hukum-hukum fikih akan tersebar tanpa ikatan dasar yang mengarahkan.
B. Saran
Tentunya pencipta telah memahami bahwa dalam penyusunan makalah di atas masih banyak terdapat kesalahan dan cukup cacat. Untuk selanjutnya penulis akan segera melakukan penyempurnaan pembuatan makalah dengan memanfaatkan kaidah dari beberapa sumber dan analisis yang membantu dari para pembaca.
8
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Muhammad Asy-Syafii, ushul fiqh al-Islami, iskandariyah muassasah tsaqofah al-Jamiiyah. 1983.
Hasbi as-siddiqy, Pengantar Hukum Islam, Jakarta: bulan bintang. 1975.
Asjmuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, Jakarta. Bulan bintang. 1976.
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqih. Amzah: Jakarta. 1990.
http://www.slideshare.net/asnin_syafiuddin/01-02-pendahuluan oleh H. Asnin Syafiuddin, Lc. MA diposting pada tanggal 10 september 2012.
Mubarok, Jaih. Kaedah Fikih: Sejarah dan Kaidah Asasi. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002.
Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Usul Fikih, Cet. XII. Kuwait: Dar al-Qalam, 1987.
Rahman, Asjmuni A. Qoidah-Qoidah Fikih. Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
Idrus, Achmad Musyahid. "Tradisi Penalaran Filosofis Dalam Hukum Islam." Al Daulah: Jurnal Hukum Pidana dan Ketatanegaraan 3.1 (2014): 45-65.
9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar