Selasa, 28 Mei 2024

6.Eksistensi Kaidah Fikhiyyah Dalam Pembentukan Fiqih

 MAKALAH
EKSISTENSI KAIDAH FIKHIYYAH DALAM PEMBENTUKAN FIQIH

Diajukan Sebagai Tugas Pada Mata Kuliah Kaidah Fikhiyah


Disusun Oleh:
Arnita : 10300122098
Tina : 10300122071
Dosen Pengampuh Mata Kuliah:
      Prof.Dr.Achmad Musyahid, M.Ag.

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MASHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAKASSAR
TAHUN 2024



KATA PENGANTAR

    Alhamdulillahirabbilalamin puji syukur kami ucapkan pada sumber dari segala ilmu pengetahuan,sang maha kuasa Allah SWT.yang telah memberikan kami nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dalam bentuk yang sangat sederhana. Tak lupa pula sholawat serta salam kami curahkan kepada baginda besar yang telah menyebarkan agama islam yang sudah terbukti kebenaranya yakni Rasulullah SAW. Adapun maksud dari penyusunan makalah ini untuk memenuhi mata kuliah Kaidah Fiqihiyah Jurusan Perbandingan Mashab dan Hukum Universitas Islam Negeri Makassar dengan judul “eksistensi kaidah fikhiyah dalam pembentukan fiqih”

Kami sangat berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat kepada pembaca dan terutama kepada Mahasiswa agar dapat menambah pengetahuan tentang eksistensi kaidah fikhiyah.

Kami sangat menyadari bahwa di dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan maupun kesalahan. Dalam kesempatan ini kami mengharapkan kesediaan pembaca untuk memberikan saran. Tegur sapa dari pembaca akan penulis terima dengan tangan terbuka demi perbaikan dan penyempurnaan makalah ini.

        Samata,22 Mei 2024

        Penulis

        Kelompok 6




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Kaidah-kaidah fiqih adalah salah satu hal penting sebagai pedoman bagi umat Islam untuk menyelesaikan masalah hukum yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa pedoman, mereka tidak dapat mengetahui batas-batas boleh-tidaknya sesuatu itu dilakukan, mereka juga tidak dapat menentukan perbuatan yang lebih utama untuk dikerjakan atau lebih utama untuk ditinggalkan. Dalam berbuat atau berprilaku mereka terikat dengan rambu-rambu dan nilai-nilai yang dianut, baik berdasarkan ajaran agama maupun tradisi-tradisi yang baik.

Dalam Islam, pedoman yang dijadikan rujukan dalam berbuat tersebut adalah petunjuk-petunjuk AlQur‟an dan Sunnah Nabi. Kita diperintahkan untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya, tidak boleh berpaling dari keduanya, seperti dipahami dari ungkapan imperatif Allah dalam surat Ali „Imran ayat 32, yang artinya: “Katakanlah olehmu (hai Muhammad), ta‟atiah Allah dan Rasul-Nya. Jika kalian berpaling, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” Umat Islam hingga sekarang tetap menjadikan kalam Tuhan dan Sunnah Nabi itu sebagai „umdah atau sandaran utama dalam berperilaku dan dan berbuat. Tidak hanya itu, kedua sumber hukum itu dijadikan rujukan utama dalam penyelesaian-penyelesaian berbagai masalah, baik secara langsung maupun tidak langsung, termasuk masalah hukum.

B. Rumusan Masalah

1. Periode pembentukan kaidah-kaidah fikih

2. Kedudukan kaidah fikih dalam ijtihad

3. Peran kaidah fikih dalam kehidupan masyarakat

C. Tujuan Makalah

1. Untuk mengetahui periode pembentukan kaidah-kaidah fikih

2. Untuk mengetahui kedudukan kaidah fikih dalam ijtihad

3. Untuk mengetahui peran kaidah fikih dalam kehidupan masyarakat


BAB II
PEMBAHASAN

A.PERIODE PEMBENTUKAN KAIDAH-KAIDAH FIKIH

1. Peroide sahabat dan rasul

Ketika melacak tentang pembentukan dan pertumbuhan hukum Islam, termasuk kaidah-kaidah fiqih, kita harus memulainya dari masa Rasul Allah, sebagai pembawa agama dan aturan-aturannya, dengan Al-Qur‟an dan Sunnah sebagai dasarnya. Pada masa Nabi, otoritas tertinggi dalam pengambilan keputusan suatu hukum Islam ada pada Nabi sendiri, tidak ada yang lain. Semua masalah hukum yang muncul dalam masyarakat diselesaikan langsung oleh Nabi melalui petunjuk wahyu, seperti yang terdapat dalam Al-Qur`an dan Sunnah Nabi Pada periode ini belum ada spesialisasi ilmu tertentu, termasuk fiqih dan ushul al- fiqh, belum ada teori-teori dan kaidah-kaidah fiqih dalam bentuknya yang praktis seperti yang dapat kita lihat dalam kitab-kitab sekarang ini. Manakala muncul suatu persoalan hukum dalam masyarakat, Nabi langsung menyelesaiannya atau para sahabat langsung menanyakannya kepada Rasul, bukan diselesaikan dengan mempedomani kaidah-kaidah tertentu. Kendatipun demikian, Rasul telah meninggalkan prinsip-prinsip hukum Islam yang universal, kaidah- kaidah umum, di samping memang ditemukan hukum- hukum spesifik dalam Al-Qur`an dan hadits. Prinsip- rinsip dan kaidah-kaidah umum tersebut dapat dijadikan sebagai kerangka berpikir dalam penyelesaian suatu persoalan hukum.

Dikemukakan oleh al-Khudhari Bik dan Abdul Wahhab Khallaf, bahwa Nabi dan para sahabat telah meninggalkan asas-asas pembinaan hukum Islam, yang menjadi prinsip untuk dipedomani dalam pemikiran hukum Islam, yaitu :

1. Adam al-haraj. Yaitu prinsip meniadakan kepicikan dan tidak memberatkan. Prinsip ini sangat sejalan dengan tabiat manusia yang tidak menyukai beban, terutama beban berat.

2. Taqlil at-Takalif. Prinsip ini adalah kelanjutan dari prinsip di atas, yaitu prinsip menyedikitkan beban. Allah melarang kaum muslimin memperbanyak pertanyaan tentang hukum yang belum ada, yang berakibat akan memberatkan mereka sendiri

3. At-Tadrij fi at-Tasyri‟. Prinsip ini berarti bahwa hukum Islam itu ditetapkan secara bertahap.

4. Musayarah bi mashalih an-nas. Prinsip ini berarti bahwa penetapan suatu hukum haruslah sejalan dengan kemaslahatan manusia, baik individu maupun sosial.

Para sahabatpun dikenal mempunyai kontribusi nyata dalam pembentukan qawaid al fiqhiyyah. Lagi- lagi sekalipun mereka tidak menamakanya sebagai kaidah fiqhiyyah dalam berargumen, namun ulama dengan ijma’nya sepakat mengkategorikan sejumlah riwayat para shabat untuk menjadi landasan sumber kaidah.

2. Periode kodifikasi

Seiring dengan perkembangan pemikiran hukum Islam, kaidah-kaidah fiqh juga mendapat perhatian serius dari para ulama berbagai mazhab hukum. Keseriusan mereka terlihat dari adanya upaya-upaya pengkodifikasian kaidah-kaidah fiqh tersebut. Asymuni A. Rahman (1974:12-15) menguraikan: Dari kalangan ahli hukum Hanafiyah, terutama rentang waktu abad ke-3 hingga ke-12 Hijriyah, ditemukan beberapa orang yang telah melakukan kodifikasi tersebut. Umpamanya Abu Tharir ad-Dibas, Abu Hasan al-Karkhi, Abu Zaid Abdullah al-Dabusi al-Hanafi dan Zainal Abidin al- Mishri.

Ad-Dibas (pada abad ke-3 H) telah mengkodifikasi sejumlah 17 kaidah fiqh. Kemudian dilanjutkan oleh al-Karkhi dengan menambahkan 20 kaidah fiqih, sehingga kodifikasi yang dihasilkannya berjumlah 37 buah kaidah fiqih. Setelah itu ad-Dabusi (abad ke-5 H) telah mengkodifikasi beberapa kaidah fiqih berikut rinciannya yang tertuang dalam buku Ta‟sis al-Nazhr. Pada abad ke-6 H. Muncullah Imam „Ala‟u ad-Din Muhammad ibn Ahmad as-Samarqandi dengan kitabnya yang berjudul Idhah al-Qawa‟id.

Pada abad ke-7 H muncul Muhammad ibn Ibrahim al-Hajir dengan kitabnya yang berjudul: al- Qawa‟id fi furu‟ asy-Syafi‟iyah (Ibn Qhodi, t.t.2 72). Kemudian muncul „Izz ad-Din ibn „Abd as-Salam dengan judul buku Qawa‟id al-Ahkam Mashalih al- Anam. Di kalangan ulama Malikiyah muncul Muhammad ibn Abdullah ibn Rasyid al-Bakri dengan kitabnya yang berjudul: al-Mazhab fi Dhabt Qawai‟id al-Mazhab. Dilanjutkan oleh al-imam al-Juzaim yang telah menyusun sebuah buku yang berjudul al- Qawa‟id. Kemudian Shihabuddin Abi al-Abbas Ahmad ibn Idris al-Qarafi (abad ke-7 H) telah mengkodifikasi sejumlah 548 kaidah fiqh dalam bukunya yang berjudul Anwar al-Furu‟ fi Anwai‟ al-Furuq, yang lebih dikenal dengan kitab al-furuq.

Pada abad ke 8 H, muncullah Ibn al-Wakil asy-Syafi‟i dengan kitabnya al-Asybah wa al-Naza‟ir , juga muncul al-Muqarri al-Maliki dengan kitabnya al- Qawa‟id. Kemudian al-„Ala‟i asy-Syafi‟i dengan kitabnya al-Asybah wa al-Naza‟ir. Badr ad-Din al- zarkasyi dengan kitabnya al-Mantsur fi al-Qawa‟id. Selanjutnya muncul ibn Rajab al-Hanbali dengan kitabnya al-Qawa‟id fi al-fuqh. Kemudian „Ali Ibn „Utsman al-Ghazali dengan kitabnya al-Qawa‟id fi al- furu‟.

Pada abad ke 9 muncullah Muhammad ibn Muhammad al-Zubairi menulis kitab asna al-Maqashid fi Tahrir al-Qawa‟id. Kemudian Ibn Hisyam al- Maqdisi menulis kitab al-Qawa‟id al-Manzhumah, di samping itu dia mengomentari karya „al-„Ala‟i “al-Majmu al-Mazhab” dengan judul Tahrir al-Qawa‟id al- „Ala‟ iyah wa Tahmid al-Masalik al-Fiqhiyah. Dalam waktu yang bersamaan muncul Taqy ad-Din al-Husni dengan bukunya al-Qawa‟id. Demikian jugaAbdurrahman Ibn Ali al-Maqsidi yang dikenal dengan Syakir dengan kitabnya Nadzm al- Zaha‟ir fi al-Asybah wa al-Naza‟ir. Kemudian muncul Ibn „Abd al-Hadi dengan kitabnya al-Qawa‟id wa ad-Dhawabith. Pada gilirannya lahir Ibn al-Ghazali al-Maliki yang menulis sebuah kitab yang berjudul al-Kulliyat al-Fiqhiyah wa al-Qawa‟id (Al-Munawwar.12-13)

Kemudian pada abad ke 10 H. Zainal Abidinal-Mishri telah menyusun sebuah kita yang berjudul al-Asybah iiwa al-Nazha‟ir, yang memuat 25 kaidah, dengan mengklasifikasikannya kepada: kaidah-kaidah pokok yang jumlahnya enam buah dan kaidah-kaidah cabang yang berjumlah 19 buah. Selanjutnya, juga pada abad ke 10 H. muncul Imam as-Suyuthi dengan karya monumentalnya di bidang kaidah fiqih, yaitu suatu kitab yang dihasilkannya setelah melakukan kajian mendalam terhadap kitab-kitab qawa‟ide sebelumnya, yaitu kitab yang berjudul al-Asybah wa al-Nazha‟ir.

Kemudian pada al-Hamawi pada abad ke 11 H. Muncul Ahmad Ibn Muhammad al-Hamawi menulis buku yang diberi judul Ghamz „Uyun al-Bashair, suatu kitab yang merupakan syarah dari al-Asybah wa al- Nazha‟ir karya al-Mishri. Selanjutnya, Muhammah Abu Sa‟id al-Khadimi telah menyusun sebuah kitab Ushul Fiqh yang berjudul Majmu‟ al-Haqa‟iq. Dalam bagian akhir kitab ini dia telah mengkodifikasi sejumlah 154 kaidah fiqih. Selanjutnya, kitab beliau tersebut disyarah oleh Mushthafa Muhammad, yang diberi judul Manafi al-Daqa‟iq.

Di kalangan ahli hukum Hanbaliyah, orang-orang yang mengkodifikasi kaidah-kaidah fiqh adalah Imam Najmuddin al-Thufi dengan judul al-Qawaid al- Qubra dan al-Qawa‟id al-Shugra. Usaha itu kemudian dilanjutkan oleh Abdurrahman Ibn Rajab dengan judul buku al-Qawa‟id (Munawwar : 12-13).

3. Periode modern

Pada periode modern kodifikasi kaidah-kaidahFiqh telah dilakukan oleh para ahli, baik secara kelompok maupun individu. Umpamanya di dalam Majallah Ahkam „Adliyah, yang memuat sejumah 99 kaidah fiqh, yang mengambil dari kitab Ibn Nujaim al- Khadimi secara eklektis dan selektif, dengan penambahan kaidah yang relevan dengan masyarakat Turki. Kaidah-kaidah ini dimuat dalam al-fiqh al-Islami fi Tsaubih al-jadid, karya Musthafha Ahmad al-Zarqa. Kemudian Sayyid Muhammad Hamzah (seorang mufti damaskus) telah mengkodipikasi kaidah-kaidah fiqih dengan sistematika fqh yang diberi judul al-fawa id al- Bahiyah fi al Qowaid al- fiqhiyah.

B.KEDUDUDKAN KAIDAH FIKIH DALAM IJTIHAD

Kedudukan kaidah fikih dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kaidah

fikih sebagai dalil pelengkap dan kaidah fikih sebagai dalil mandiri. Akan tetapi, perlu dipahami bahwa kaidah-kaidah fikih bukanlah dalil dalam arti sesungguhnya, karena kaidah fikih tersebut memang bukanlah termasuk kedalam dalil penetapan hukum, akan tetapi ia hanya menyerupai dalil karena kandungan dalam kaidah-kaidah tersebut seperti redakasi hadits- hadits Nabi. Begitu juga, kaidah-kaidah fikih tersebut seolah-olah dalil berdasarkan atas pemikiran bahwa kandungannya didukung oleh dalil-dalil tafshîlî (rinci). Yang dimaksud dalil pelengkap adalah bahwa kaidah fikih digunakan sebagai dalil setelah menggunakan dua dalil pokok, yaitu al- Qur’an dan Hadits. Posisi dalil pelengkap ini adalah sebagai penguat dari dalil-dalil yang telah diterangkan dalam al-Qur’an dan Hadits. Sedangkan yang dimaksud dengan dalil mandiri adalah bahwa kaidah fikih digunakan sebagai dalil hukum yang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok. Untuk lebih jelasnya penulis paparkan sebagaimana berikut ini:

1. Kaidah fikih sebagai pelengkap

Kedudukan kaidah fikih yang dijadikan sebagai dalil pelengkap tidak ada ulama yang memperdebatkannya, artinya ulama sepakat tentang kebolehan menjadikan kaidah fikih sebagai dalil pelengkap. Seperti halnya Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam putusan fatwa fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) selain berdasarkan dari al-Qur’an dan Hadits juga ada kaidah-kaidah fikih, artinya dalam memutuskan fatwa yang dijadikan landasan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah al-Qur’an dan Hadits, lalu fatwa-fatwa tersebut dikuatkan dengan kaidah-kaidah fikih yang telah dirumuskan oleh para ulama terdahulu, ini berarti bahwa posisi kaidah fikih adalah sebagai dalil pelengkap, karena kaidah fikih kedudukannya sebagai penguat setelah al-Qur’an dan hadits Nabi.

2. Kaidah fikih sebagai dalil pelengkap

Kaidah fikih sebagai dalil mandiri, maksudnya adalah bahwa kaidah fikih digunakan sebagai dalil hukum yang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok yaitu al-Qur’an dan Hadits. Mengenai kaidah fikih sebagai dalil mandiri dalam penetapan suatu hukum, ulama berbeda pendapat. Imam Haramain al-Juwainî (w. 478) seorang ulama bermazhab Syafi’i, dalam kitabnya al-Ghiyâtsî Al-Umam fi Iltiyâts alZhalam mengatakan:

 “Tujuan saya mengemukakan dua kaidah ini (kaidah ibâhah dan barâ’ah al-zimmah) adalah sebagai isyarat dalam rangka mengindentifikasi metode yang saya pakai terdahulu, bukan untuk beristidlal (berdalil) dengan keduanya”.

Hal ini menunjukkan bahwa tujuan beliau mengemukakan kaidah fikih adalah untuk memberikan isyarat yang dapat menunjukkan metode apa yang beliau pakai dalam kitabnya tersebut, bukan untuk menjadikannya sebagai dalil.

C.PERAN KAIDAH FIKHIYYAH DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT

Kaidah fikhiyah memiliki peran penting dalam kehidupan manusia karena membantu dalam menjalankan ibadah dengan benar, menetapkan hukum-hukum syariah yang adil, memberikan arahan moral dalam berinteraksi dengan sesama, serta mengatur berbagai aspek kehidupan agar sesuai dengan nilai-nilai Islam. Dengan mengikuti kaidah fikhiyah, manusia dapat hidup sesuai dengan tuntunan agama dan mencapai kebahagiaan spiritual serta keselamatan dunia dan akhirat.

Dari beberapa pendapat fukaha di simpulkan bahwa:

1. Kaidah fiqhiyyah adalah ranah ijtihad dalam menerapkan ‘illat hukum yang digali dari permasalahan-permasalahan hukum cabang berdasarkan hasil ijtihad mujtahid mutlak.

2. Kaidah fiqhiyyah mempunyai peran penting dalam rangka mempermudah pe mahaman tentang hukum Islam, di mana pelbagai hukum cabang yang banyak tersusun menjadi satu kaidah.

3. Pengkajian kaidah fiqhiyyah dapat mem bantu memelihara dan mengikat pelbagai masalah yang banyak dan saling bertentangan, menjadi jalan untuk meng hadirkan pelbagai hukum

4. Kaidah fiqhiyyah dapat mengembangkan malakah zhihiyah (daya rasa) fikih seseorang, sehingga mampu mentakhrij pelbagai hukum fikih yang tak terbatas sesuai dengan kaidah mazhab imamnya.


BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan

Qawaid al afiqhiyyah adalah hukum-hukum yang berkaitan dengan asas hukum yang dibangun oleh syar’i serta tujuan-tujuan yang dimaksud dalam pensyariatannya. dinukil dari pendapat Imam al Qarafy bahwa seorang faqih tidak akan besar pengaruhnya tanpa berpegang kepada ilmu kaidah fiqhiyyah.

Karena jika tidak demikian, akan berpengaruh pada hasil ijtihadnya yang bertentangan dengan dalil-dalil yang kulliy. Maka dengan menguasai bidang dan klasifikasi qawaid fiqhiyyah, akan mudah menguasai cabang disiplin ilmu lainnya.

B. Saran

Diharapkan para pembaca dapat memahami eksistensi kaidah dalam pembentukan fikih melalui beberapa pengertian yang sudah ditegaskan didalam makalah ini. Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, dan penulis berharap dari kritik dan saran pembaca agar lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah ini dengan sumber-sumber yang lebih banyak lagi.


DAFTAR PUSTAKA


Al-Zarqa, Mustafa Ahmad, Syarah Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah, 2020

Arifandi, Firman, ‘Qawaid Fiqhiyyah Sebagai Formulasi Hukum (Sejarah, Urgensi, Dan Sistematikanya Dalam Ibadah Dan Muamalah Syar’iyah)’, 2018, 36

Hilal, Syamsul, ‘Qawa’id Fiqhiyah Furu’iyyah Sebagai Sumber Hukum Islam’, Al-’Adalah, 11.2 (2013), 141–54

 Jaih Mubaraok, Kaidah Fiqih-Sejarah dan Asasi, (Jakarta: PT. Rajagrafindo, 2002), Cet. Pertama, h. 29.

Imâm al-Haramain Abî al-Ma’âlî ‘Abdul Mâlik Ibn Abî Muhammad al-Juwainî, alGhiyâtsi Ghiyâts al-Umam fî al-Tiyâtsi al-Zhulam,(Beirût: Dâr al-kutub al-‘ilmiyah, 1400 H), h.

Jaih Mubaraok, Kaidah Fiqih-Sejarah dan Asasi, op.cit., h. 30


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

7.Pembentukan Kaidah Fiqih dalam Mazhab

 MAKALAH PEMBENTUKAN KAIDAH FIQIH DALAM MAZHAB Dosen pengampu: Prof. Dr. Achmad Musyahid, M.Ag DISUSUN OLEH: FAZA FAUZA KHARISMI HM (103001...