Selasa, 28 Mei 2024

7.Pembentukan Kaidah Fiqih dalam Mazhab

 MAKALAH
PEMBENTUKAN KAIDAH FIQIH DALAM MAZHAB

Dosen pengampu: Prof. Dr. Achmad Musyahid, M.Ag



DISUSUN OLEH:
FAZA FAUZA KHARISMI HM (10300122088) MUH.ADYAKSA (10300122103)
AHMAD RIZIQ PAWELLOI (10300122094)

PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR 2024


BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Kaidah-kaidah dalam ilmu-ilmu keislaman yang mempunyai bentuk sistematis dan melingkupi hukum-hukum yang berada di bawah naungannya bertujuan untuk memudahkan para mujtahid dalam merespon dan menjawab persoalan-persoalan

terkini. Kaidah-kaidah hukum (fikih) tidaklah disusun dalam suatu kurun waktu tertentu. Kaidah-kaidah tersebut baru tersusun secara sistematis di kemudian hari sejalan dengan perkembangan dan pertumbuhan ijtihad di kalangan para pakar dan pendiri mazhab dalam hukum Islam.1

Allah Swt sebagai syari’ yang menetapkan syari'at tidak menciptakan hukum dan aturan begitu saja. Tetapi hukum dan aturan diciptakan dengan tujuan dan maksud tertentu. Ibnu Qayyim menyatakan bahwa tujuan syari'at adalah kemaslahatan hamba di dunia dan akhirat. Syari'at semuanya adil, semuanya berisi rahmat, dan semuanya mengandung hikmah. Setiap masalah yang menyimpang dari keadilan, rahmat, maslahat, dan hikmah pasti bukan ketentuan syari'at. Syariat berdasarkan atas hikmah dan kemaslahatan.2

Dua sumber utama hukum Islam yaitu Al-Quran maupun Hadits Nabi

Muhammad Saw. merupakan pendekatan yang amat berperan dalam merumuskan suatu kaidah. Maka kaidah fikih merupakan kaidah yang bersifat praktis,

mengikat beberapa furu’ yang mempunyai kesamaan hukum.3 Lafadznya bisa berasal dari hadits Nabi Saw., atsar sahabat, fatwa seorang mufti, bahkan berasal dari istinbath ulama terhadap ayat-ayat Al-Quran, dan sebagainya.

1 Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Antar Madzhab-Madzhab Barat dan Islam, (Bandung: Sahifa, 2015), hlm. 254.

2 Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, l'lam Al-muwaqqi'in 'an Rabb Al-'Alamin (Beirut: Daar AlKutub Al- ilmiyah, 1991), Jld. 3, hlm. 11.

3 Ahmad Sudirman Abbas, sejarah Qawa'id Fikihiyyah, (Jakarta: Radar Jaya Offset, 2009), hlm.v.

Kaidah fikih menempati kedudukan yang penting dalam hukum Islam. Karena Kaidah fikih tersebut merupakan konsep yang dapat membantu seseorang dalam Memahami rincian persoalan hukum melalui kaidah itu sendiri.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Kaidah Fikih?

2. Bagaimana kaidah fikih menurut pemikiran Empat Mazhab?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian Kaidah Fikih

2. Untuk mengetahui bagaimana kaidah fikih menurut pemikiran Empat Mazhab


BAB II
PEMBAHASAN


A. Pengertian Kaidah Fikih

Secara bahasa kaidah terambil dari bahasa Arab qa’idah yang artinya adalah pondasi atau dasar. Sedangkan qawwa’id adalah bentuk jamak dari qa’idah.

Adapun secara istilah, kaidah fikih adalah sebuah hukum atau perkara universal yang bisa untuk memahami beberapa hukum dan masalah yang masuk dalam cakupan pembahasannya.4

Sedangkan fikih secara bahasa terambil dari kata al-fiqh yang artinya adalah faham. Sedangkan secara istilah adalah mengetahui hukum-hukum syar’i yang berhubungan dengan amal perbuatan hamba berdasarkan pada dalil-dalilnya secara terperici.5

Dari sini bisa disimpulkan bahwa kaidah fikih adalah hukum atau pondasi yang bersifat umum yang bisa untuk memahami permasalahan fikih yang tercakup

dalam pembahasannya.6

B. Kaidah Fikih Menurut Pemikiran Empat Mazhab

1) Kaidah fikih Menurut Pemikiran Mazhab Hanafi

Menurut Musthafa Ahmad Al-Zarqa, secara empiris diketahui bahwa kalangan mazhab Hanafi merupakan pemula rintisan dari lahirnya kaidah-kaidah fikih.

Lapisan utama dari para Fuqaha kalangan Hanafiyah terdahulu telah

memformulasikan dasar-dasar fikih yang bersifat general dalam redaksi

kaidahnya, serta berargumen dengannya, dan dari sana pula lahir tokoh-tokoh

4 Al-Jurjani, At-Ta’rifat, hal. 177

5 Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Syarah Ushul min Ilmi Ushul, hal. 14

6 Dr. Muhammad Shidqi Al-Burnu, Al-Wajiz fi Idhohi Qawaid Al-Fiqh Al-Kulliyah, hal. 13

mazhab yang lain yang berkeinginan untuk menggunakan kaidah-kaidah darinya. Dengan demikian kaidah-kaidah ini disebut sebagai ushul (pokok).7

Berdasarkan berbagai literatur yang terkumpul dalam penelitian, terdapat banyak karya pemikiran dari kalangan mazhab Hanafi antara lain:

a) Ushul Al-Karkhi karya Ubaidullah ibn Hasan Al-Karkhi (w.340 H). Al-Karkhi hidup sezaman dengan Abu Thahir Ad-Dabbas dan mengadopsi kaidah-kaidah yang dihimpun oleh Abu Thahir Ad-Dabbas serta mengumpulkannya dengan

kaidah-kaidah lain sehingga berjumlah tiga puluh tujuh kaidah yang dibukukan dalam Ushul Al-Karkhi.8

b) Ta’sis An-Nadzar karya Ibn Zaid Ad-Dabusi Al-Hanafi (w. 430 H). Menurut Ali Ahmad An-Nadawi, kitab ini membahas secara khusus tentang kaidah fikih pada abad kelima hijrah.9

2) Kaidah fikih Menurut Pemikiran Mazhab Maliki

Dari mazhab Maliki, beberapa ulama juga menyumbangkan tulisan tentang kaidah fikih. Karya dari kalangan mazhab Maliki tidak sebanyak dari mazhab Hanafi dan syafi’ karya-karya tersebut antara lain adalah:10

a) Anwar Al-Buruq fi Anwar Al-Furuq atau lebih dikenal juga sebagai: Al-Furuq: Kitab al-Anwaar wal-Anwaa atau kitab al-Anwar wa Al-Qawa’id As-Sunniyyah oleh Imam Syihabudin Abdul-Abbas Ahmad As-Sonhaji Al-Qarafi (w. 340 H).

b) Al-Qawa’id oleh Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Muqarri (w. 758 H) dan lain-lain.

7 Muhammad Al-Zarqa, Syarh Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah, hlm. 36.

8 Ali Ahmad An-Nadawi, Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah: Mafhumuha Nasyatuha Tathawwuruha

Dirasat Muallafatiha Adillatuha Muhimmatuha Tathbiqatuha, (Damaskus: Daar Al-Qalam, 1994), hlm. 136.

9 Ali Ahmad An-Nadawi, Al-Qawaid Al-Fikiyyah hlm. 137.

10 Muhammad Thohir Mansori, Kaidah-Kaidah Fiqih, (Bogor: Ulil Albab Institute, 2009), hlm. 14-17.

3) Kaidah fikih Menurut Pemikiran Mazhab Syafi’i

Mazhab Syafi’i merupakan Mazhab yang paling banyak berkontribusi dalam bidang kaidah fikih. Pengaruhnya di Indonesia juga cukup meluas, utamanya karya seorang faqih besar seperti Jalaluddin As-Suyuthi yang menulis Al-Asybah wa An-Nadzair dalam beberapa Kitab.Karya-karya berikut ini ialah karya-karya kaidah fikih dikalangan Mazhab Syafi’i yang mulai bermunculan pada abad ke

tujuh hijrah antara lain:11

a) Qawa’id Al-Ahkam fi Masalih Al-Anam oleh Izzuddin Abdul Aziz ibn Abd As- Salam (w. 660 H). Beberapa kaidah fikih yang terdapat dalam kitab tersebut:12 pertama, beliau menjelaskan bahwa semua ketentuan syariat adalah maslahat, baik dengan cara penolakan terhadap kesulitan maupun dengan cara menarik kegunaan.Kedua, dalam Islam terdapat wilayah zhanniyat, yaitu wilayah yang kepastian kebenarannya tidak diketahui oleh manusia karena ketidakadaan

informasi wahyu atau karena keterbatasan kemampuan manusia untuk

mendalaminya. Oleh karena itu, bisa jadi sesuatu itu baik menurut pandangan

manusia, tetapi kenyataannya tidak baik atau sebaliknya. Izzuddin Abdul Aziz ibn Abd As-Salam menuturkan: siapa saja yang berpendapat (berijtihad) yang

menurut dugaannya mengandung kegunaan, tetapi malah mendatangkan kesulitan, tidaklah berdosa atas dugaan kesalahan tersebut.

b) Al-Asybah wa An-Nadzair karya Sadruddin Abi Abdullah ibn Murahhil ibn Wakil As-Syafi’i ( w.716 H )

c) Majmu’ Al-mazhab fi Al-Qawaid Al-Mazhab oleh Salahuddin Abi Said Al- Ala’i As-Syafi’i ( w.761 H )

11 Masyhudi Muqorobin, Qawaid Fiqhiyyah sebagai Landasan Perilaku Ekonomi, Jurnal Ekonomi dan Studi Pembangunan, Vol. 8, No. 2, (Oktober 2007), hlm. 203.

12 Izzuddin Abdul Aziz ibn Abd As-Salam,Qawa'id Al-Ahkaam fi Masalih Al-Anam, hlm. 9.

4) Kaidah fikih Menurut Pemikiran Mazhab Hanbali

Di kalangan mazhab Hanbali, kaidah fikih tidaklah banyak, karena mazhab ini mengambil, menerapkan, dan berpedoman pada lima kaidah asasi yang telah dijadikan rujukan oleh mazhab-mazhab sebelumnya. Namun demikian terdapat perhatian yang besar dari kalangan mazhab Hanbali terhadap kaidah fikih dalam bidang akad-akad muamalah dan transaksi keuangan secara luas.13 Di samping itu, kaidah fikih dalam mazhab Hanbali menaruh perhatian dan membahas perkara- perkara waqi’iyyah(realita kekinian) dan memberikan solusi terhadap masalah-

masalah kontemporer (baru) seiring dengan perkembangan zaman. Terlebih lagi pembahasan itu terlihat pada pemikiran Ibnu Taimiyyah dan kaidah-kaidah yang terdapat dalam karyanya.

Terdapat berbagai karya-karya para fuqaha mazhab Hanbali mulai dari pertengahan abad ke-7, sejak karya Ibnu Taimiyyah hingga abad ke-14 H pada periode Al-Qari. Mereka antara lain:14

a) Al-Qawa’id An-Nuuraaniyyah Al-Fiqhiyyah oleh Taqiyyuddin Abu Al-Abbas Ahmad ibn Abd al-Halim ibn Taymiyyah (w. 728 H).

b) Al-Qawa’id Al-Fikiyyah ‘ala Mazhab Al-Imam Ahmad ibn Hanbal oleh Syarifuddin Ahmad ibn Al-Hasan ibn Qadhi Al-Jabal Al-Maqdisi (w. 771 H).

c) Taqrir Al-Qawa’id wa tahrir Al -Fawaid karya Abdurrahman Syihab ibn Ahmad ibn Abi Rajab (Ibn Rajab) Al-Hanbali (w. 795H) dan lain-lain.

13 Muhammad Musthafa Az-Zuhaili, Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah wa Tathbiqatuha fi Al-Madzahib Al- Arba'ah, (Damaskus: Daar Al-Fikr, 2006), jld. 2, hlm. 767.

14 44 Ibid, hlm. 768


BAB Ill
PENUTUP


A. Kesimpulan

Secara bahasa kaidah terambil dari bahasa Arab qa’idah yang artinya adalah pondasi atau dasar. Sedangkan qawwa’id adalah bentuk jamak dari qa’idah.

Adapun secara istilah, kaidah fikih adalah sebuah hukum atau perkara universal yang bisa untuk memahami beberapa hukum dan masalah yang masuk dalam cakupan pembahasannya.

Para fuqaha empat mazhab sepakat bahwa kaidah fikih dapat dijadikan Sebagai dalil sumber hukum Islam dan dapat diaplikasikan terhadap masalah-masalah Kontemporer. Permasalahan yang muncul di antara empat mazhab adalah

menjadikan Kaidah fikih sebagai dalil mandiri tanpa didukung oleh Al-Quran dan Sunnah. Ketika Kaidah fikih tidak didukung dengan kedua sumber utama tersebut, maka para ulama Tidak sepakat menjadikannya sebagai sumber hukum Islam.

B. Saran

Dalam makalah ini masih banyak kekurangan dan kekhilafan, oleh karena itu Pemakalah mengharapkan kritik dan saran terutama dari dosen pengampu demi Kesempurnaan makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA


A. Rahman, Asymuni. (1976). Qaidah-Qaidah Fikih, Jakarta: Bulan Bintang.

Al-Asnawi, Abdurrahim Al-Hasan. (1999). Nihayat As-Sul Syarh Minhaj Al- Wusul,

S. Praja, Juhaya. (2015). Filsafat Hukum Antar Madzhab-Madzhab Barat dan Islam,Bandung: Sahifa.

Suparmin, Sudirman. (2013). Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah Al-Khassah fi Al-Ibadah wa Tathbiqatuha, Jurnal Al-Irsyad, Vol. III.

Thalib, Prawitra. (2016). Pengaplikasian Qowaid Fikihiyyah dalam Hukum Islam Kontemporer, Yuridika, Vol. 31, No. 1.

Yulianti, Rahmani Timorita. (2007). Pola Ijtihad Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI tentang Produk Perbankan Syariah, Jurnal Ekonomi Islam La Raiba, Universitas Islam Indonesia, Vol. 1, No. 1.


6.Eksistensi Kaidah Fikhiyyah Dalam Pembentukan Fiqih

 MAKALAH
EKSISTENSI KAIDAH FIKHIYYAH DALAM PEMBENTUKAN FIQIH

Diajukan Sebagai Tugas Pada Mata Kuliah Kaidah Fikhiyah


Disusun Oleh:
Arnita : 10300122098
Tina : 10300122071
Dosen Pengampuh Mata Kuliah:
      Prof.Dr.Achmad Musyahid, M.Ag.

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MASHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAKASSAR
TAHUN 2024



KATA PENGANTAR

    Alhamdulillahirabbilalamin puji syukur kami ucapkan pada sumber dari segala ilmu pengetahuan,sang maha kuasa Allah SWT.yang telah memberikan kami nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dalam bentuk yang sangat sederhana. Tak lupa pula sholawat serta salam kami curahkan kepada baginda besar yang telah menyebarkan agama islam yang sudah terbukti kebenaranya yakni Rasulullah SAW. Adapun maksud dari penyusunan makalah ini untuk memenuhi mata kuliah Kaidah Fiqihiyah Jurusan Perbandingan Mashab dan Hukum Universitas Islam Negeri Makassar dengan judul “eksistensi kaidah fikhiyah dalam pembentukan fiqih”

Kami sangat berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat kepada pembaca dan terutama kepada Mahasiswa agar dapat menambah pengetahuan tentang eksistensi kaidah fikhiyah.

Kami sangat menyadari bahwa di dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan maupun kesalahan. Dalam kesempatan ini kami mengharapkan kesediaan pembaca untuk memberikan saran. Tegur sapa dari pembaca akan penulis terima dengan tangan terbuka demi perbaikan dan penyempurnaan makalah ini.

        Samata,22 Mei 2024

        Penulis

        Kelompok 6




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Kaidah-kaidah fiqih adalah salah satu hal penting sebagai pedoman bagi umat Islam untuk menyelesaikan masalah hukum yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa pedoman, mereka tidak dapat mengetahui batas-batas boleh-tidaknya sesuatu itu dilakukan, mereka juga tidak dapat menentukan perbuatan yang lebih utama untuk dikerjakan atau lebih utama untuk ditinggalkan. Dalam berbuat atau berprilaku mereka terikat dengan rambu-rambu dan nilai-nilai yang dianut, baik berdasarkan ajaran agama maupun tradisi-tradisi yang baik.

Dalam Islam, pedoman yang dijadikan rujukan dalam berbuat tersebut adalah petunjuk-petunjuk AlQur‟an dan Sunnah Nabi. Kita diperintahkan untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya, tidak boleh berpaling dari keduanya, seperti dipahami dari ungkapan imperatif Allah dalam surat Ali „Imran ayat 32, yang artinya: “Katakanlah olehmu (hai Muhammad), ta‟atiah Allah dan Rasul-Nya. Jika kalian berpaling, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” Umat Islam hingga sekarang tetap menjadikan kalam Tuhan dan Sunnah Nabi itu sebagai „umdah atau sandaran utama dalam berperilaku dan dan berbuat. Tidak hanya itu, kedua sumber hukum itu dijadikan rujukan utama dalam penyelesaian-penyelesaian berbagai masalah, baik secara langsung maupun tidak langsung, termasuk masalah hukum.

B. Rumusan Masalah

1. Periode pembentukan kaidah-kaidah fikih

2. Kedudukan kaidah fikih dalam ijtihad

3. Peran kaidah fikih dalam kehidupan masyarakat

C. Tujuan Makalah

1. Untuk mengetahui periode pembentukan kaidah-kaidah fikih

2. Untuk mengetahui kedudukan kaidah fikih dalam ijtihad

3. Untuk mengetahui peran kaidah fikih dalam kehidupan masyarakat


BAB II
PEMBAHASAN

A.PERIODE PEMBENTUKAN KAIDAH-KAIDAH FIKIH

1. Peroide sahabat dan rasul

Ketika melacak tentang pembentukan dan pertumbuhan hukum Islam, termasuk kaidah-kaidah fiqih, kita harus memulainya dari masa Rasul Allah, sebagai pembawa agama dan aturan-aturannya, dengan Al-Qur‟an dan Sunnah sebagai dasarnya. Pada masa Nabi, otoritas tertinggi dalam pengambilan keputusan suatu hukum Islam ada pada Nabi sendiri, tidak ada yang lain. Semua masalah hukum yang muncul dalam masyarakat diselesaikan langsung oleh Nabi melalui petunjuk wahyu, seperti yang terdapat dalam Al-Qur`an dan Sunnah Nabi Pada periode ini belum ada spesialisasi ilmu tertentu, termasuk fiqih dan ushul al- fiqh, belum ada teori-teori dan kaidah-kaidah fiqih dalam bentuknya yang praktis seperti yang dapat kita lihat dalam kitab-kitab sekarang ini. Manakala muncul suatu persoalan hukum dalam masyarakat, Nabi langsung menyelesaiannya atau para sahabat langsung menanyakannya kepada Rasul, bukan diselesaikan dengan mempedomani kaidah-kaidah tertentu. Kendatipun demikian, Rasul telah meninggalkan prinsip-prinsip hukum Islam yang universal, kaidah- kaidah umum, di samping memang ditemukan hukum- hukum spesifik dalam Al-Qur`an dan hadits. Prinsip- rinsip dan kaidah-kaidah umum tersebut dapat dijadikan sebagai kerangka berpikir dalam penyelesaian suatu persoalan hukum.

Dikemukakan oleh al-Khudhari Bik dan Abdul Wahhab Khallaf, bahwa Nabi dan para sahabat telah meninggalkan asas-asas pembinaan hukum Islam, yang menjadi prinsip untuk dipedomani dalam pemikiran hukum Islam, yaitu :

1. Adam al-haraj. Yaitu prinsip meniadakan kepicikan dan tidak memberatkan. Prinsip ini sangat sejalan dengan tabiat manusia yang tidak menyukai beban, terutama beban berat.

2. Taqlil at-Takalif. Prinsip ini adalah kelanjutan dari prinsip di atas, yaitu prinsip menyedikitkan beban. Allah melarang kaum muslimin memperbanyak pertanyaan tentang hukum yang belum ada, yang berakibat akan memberatkan mereka sendiri

3. At-Tadrij fi at-Tasyri‟. Prinsip ini berarti bahwa hukum Islam itu ditetapkan secara bertahap.

4. Musayarah bi mashalih an-nas. Prinsip ini berarti bahwa penetapan suatu hukum haruslah sejalan dengan kemaslahatan manusia, baik individu maupun sosial.

Para sahabatpun dikenal mempunyai kontribusi nyata dalam pembentukan qawaid al fiqhiyyah. Lagi- lagi sekalipun mereka tidak menamakanya sebagai kaidah fiqhiyyah dalam berargumen, namun ulama dengan ijma’nya sepakat mengkategorikan sejumlah riwayat para shabat untuk menjadi landasan sumber kaidah.

2. Periode kodifikasi

Seiring dengan perkembangan pemikiran hukum Islam, kaidah-kaidah fiqh juga mendapat perhatian serius dari para ulama berbagai mazhab hukum. Keseriusan mereka terlihat dari adanya upaya-upaya pengkodifikasian kaidah-kaidah fiqh tersebut. Asymuni A. Rahman (1974:12-15) menguraikan: Dari kalangan ahli hukum Hanafiyah, terutama rentang waktu abad ke-3 hingga ke-12 Hijriyah, ditemukan beberapa orang yang telah melakukan kodifikasi tersebut. Umpamanya Abu Tharir ad-Dibas, Abu Hasan al-Karkhi, Abu Zaid Abdullah al-Dabusi al-Hanafi dan Zainal Abidin al- Mishri.

Ad-Dibas (pada abad ke-3 H) telah mengkodifikasi sejumlah 17 kaidah fiqh. Kemudian dilanjutkan oleh al-Karkhi dengan menambahkan 20 kaidah fiqih, sehingga kodifikasi yang dihasilkannya berjumlah 37 buah kaidah fiqih. Setelah itu ad-Dabusi (abad ke-5 H) telah mengkodifikasi beberapa kaidah fiqih berikut rinciannya yang tertuang dalam buku Ta‟sis al-Nazhr. Pada abad ke-6 H. Muncullah Imam „Ala‟u ad-Din Muhammad ibn Ahmad as-Samarqandi dengan kitabnya yang berjudul Idhah al-Qawa‟id.

Pada abad ke-7 H muncul Muhammad ibn Ibrahim al-Hajir dengan kitabnya yang berjudul: al- Qawa‟id fi furu‟ asy-Syafi‟iyah (Ibn Qhodi, t.t.2 72). Kemudian muncul „Izz ad-Din ibn „Abd as-Salam dengan judul buku Qawa‟id al-Ahkam Mashalih al- Anam. Di kalangan ulama Malikiyah muncul Muhammad ibn Abdullah ibn Rasyid al-Bakri dengan kitabnya yang berjudul: al-Mazhab fi Dhabt Qawai‟id al-Mazhab. Dilanjutkan oleh al-imam al-Juzaim yang telah menyusun sebuah buku yang berjudul al- Qawa‟id. Kemudian Shihabuddin Abi al-Abbas Ahmad ibn Idris al-Qarafi (abad ke-7 H) telah mengkodifikasi sejumlah 548 kaidah fiqh dalam bukunya yang berjudul Anwar al-Furu‟ fi Anwai‟ al-Furuq, yang lebih dikenal dengan kitab al-furuq.

Pada abad ke 8 H, muncullah Ibn al-Wakil asy-Syafi‟i dengan kitabnya al-Asybah wa al-Naza‟ir , juga muncul al-Muqarri al-Maliki dengan kitabnya al- Qawa‟id. Kemudian al-„Ala‟i asy-Syafi‟i dengan kitabnya al-Asybah wa al-Naza‟ir. Badr ad-Din al- zarkasyi dengan kitabnya al-Mantsur fi al-Qawa‟id. Selanjutnya muncul ibn Rajab al-Hanbali dengan kitabnya al-Qawa‟id fi al-fuqh. Kemudian „Ali Ibn „Utsman al-Ghazali dengan kitabnya al-Qawa‟id fi al- furu‟.

Pada abad ke 9 muncullah Muhammad ibn Muhammad al-Zubairi menulis kitab asna al-Maqashid fi Tahrir al-Qawa‟id. Kemudian Ibn Hisyam al- Maqdisi menulis kitab al-Qawa‟id al-Manzhumah, di samping itu dia mengomentari karya „al-„Ala‟i “al-Majmu al-Mazhab” dengan judul Tahrir al-Qawa‟id al- „Ala‟ iyah wa Tahmid al-Masalik al-Fiqhiyah. Dalam waktu yang bersamaan muncul Taqy ad-Din al-Husni dengan bukunya al-Qawa‟id. Demikian jugaAbdurrahman Ibn Ali al-Maqsidi yang dikenal dengan Syakir dengan kitabnya Nadzm al- Zaha‟ir fi al-Asybah wa al-Naza‟ir. Kemudian muncul Ibn „Abd al-Hadi dengan kitabnya al-Qawa‟id wa ad-Dhawabith. Pada gilirannya lahir Ibn al-Ghazali al-Maliki yang menulis sebuah kitab yang berjudul al-Kulliyat al-Fiqhiyah wa al-Qawa‟id (Al-Munawwar.12-13)

Kemudian pada abad ke 10 H. Zainal Abidinal-Mishri telah menyusun sebuah kita yang berjudul al-Asybah iiwa al-Nazha‟ir, yang memuat 25 kaidah, dengan mengklasifikasikannya kepada: kaidah-kaidah pokok yang jumlahnya enam buah dan kaidah-kaidah cabang yang berjumlah 19 buah. Selanjutnya, juga pada abad ke 10 H. muncul Imam as-Suyuthi dengan karya monumentalnya di bidang kaidah fiqih, yaitu suatu kitab yang dihasilkannya setelah melakukan kajian mendalam terhadap kitab-kitab qawa‟ide sebelumnya, yaitu kitab yang berjudul al-Asybah wa al-Nazha‟ir.

Kemudian pada al-Hamawi pada abad ke 11 H. Muncul Ahmad Ibn Muhammad al-Hamawi menulis buku yang diberi judul Ghamz „Uyun al-Bashair, suatu kitab yang merupakan syarah dari al-Asybah wa al- Nazha‟ir karya al-Mishri. Selanjutnya, Muhammah Abu Sa‟id al-Khadimi telah menyusun sebuah kitab Ushul Fiqh yang berjudul Majmu‟ al-Haqa‟iq. Dalam bagian akhir kitab ini dia telah mengkodifikasi sejumlah 154 kaidah fiqih. Selanjutnya, kitab beliau tersebut disyarah oleh Mushthafa Muhammad, yang diberi judul Manafi al-Daqa‟iq.

Di kalangan ahli hukum Hanbaliyah, orang-orang yang mengkodifikasi kaidah-kaidah fiqh adalah Imam Najmuddin al-Thufi dengan judul al-Qawaid al- Qubra dan al-Qawa‟id al-Shugra. Usaha itu kemudian dilanjutkan oleh Abdurrahman Ibn Rajab dengan judul buku al-Qawa‟id (Munawwar : 12-13).

3. Periode modern

Pada periode modern kodifikasi kaidah-kaidahFiqh telah dilakukan oleh para ahli, baik secara kelompok maupun individu. Umpamanya di dalam Majallah Ahkam „Adliyah, yang memuat sejumah 99 kaidah fiqh, yang mengambil dari kitab Ibn Nujaim al- Khadimi secara eklektis dan selektif, dengan penambahan kaidah yang relevan dengan masyarakat Turki. Kaidah-kaidah ini dimuat dalam al-fiqh al-Islami fi Tsaubih al-jadid, karya Musthafha Ahmad al-Zarqa. Kemudian Sayyid Muhammad Hamzah (seorang mufti damaskus) telah mengkodipikasi kaidah-kaidah fiqih dengan sistematika fqh yang diberi judul al-fawa id al- Bahiyah fi al Qowaid al- fiqhiyah.

B.KEDUDUDKAN KAIDAH FIKIH DALAM IJTIHAD

Kedudukan kaidah fikih dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kaidah

fikih sebagai dalil pelengkap dan kaidah fikih sebagai dalil mandiri. Akan tetapi, perlu dipahami bahwa kaidah-kaidah fikih bukanlah dalil dalam arti sesungguhnya, karena kaidah fikih tersebut memang bukanlah termasuk kedalam dalil penetapan hukum, akan tetapi ia hanya menyerupai dalil karena kandungan dalam kaidah-kaidah tersebut seperti redakasi hadits- hadits Nabi. Begitu juga, kaidah-kaidah fikih tersebut seolah-olah dalil berdasarkan atas pemikiran bahwa kandungannya didukung oleh dalil-dalil tafshîlî (rinci). Yang dimaksud dalil pelengkap adalah bahwa kaidah fikih digunakan sebagai dalil setelah menggunakan dua dalil pokok, yaitu al- Qur’an dan Hadits. Posisi dalil pelengkap ini adalah sebagai penguat dari dalil-dalil yang telah diterangkan dalam al-Qur’an dan Hadits. Sedangkan yang dimaksud dengan dalil mandiri adalah bahwa kaidah fikih digunakan sebagai dalil hukum yang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok. Untuk lebih jelasnya penulis paparkan sebagaimana berikut ini:

1. Kaidah fikih sebagai pelengkap

Kedudukan kaidah fikih yang dijadikan sebagai dalil pelengkap tidak ada ulama yang memperdebatkannya, artinya ulama sepakat tentang kebolehan menjadikan kaidah fikih sebagai dalil pelengkap. Seperti halnya Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam putusan fatwa fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) selain berdasarkan dari al-Qur’an dan Hadits juga ada kaidah-kaidah fikih, artinya dalam memutuskan fatwa yang dijadikan landasan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah al-Qur’an dan Hadits, lalu fatwa-fatwa tersebut dikuatkan dengan kaidah-kaidah fikih yang telah dirumuskan oleh para ulama terdahulu, ini berarti bahwa posisi kaidah fikih adalah sebagai dalil pelengkap, karena kaidah fikih kedudukannya sebagai penguat setelah al-Qur’an dan hadits Nabi.

2. Kaidah fikih sebagai dalil pelengkap

Kaidah fikih sebagai dalil mandiri, maksudnya adalah bahwa kaidah fikih digunakan sebagai dalil hukum yang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok yaitu al-Qur’an dan Hadits. Mengenai kaidah fikih sebagai dalil mandiri dalam penetapan suatu hukum, ulama berbeda pendapat. Imam Haramain al-Juwainî (w. 478) seorang ulama bermazhab Syafi’i, dalam kitabnya al-Ghiyâtsî Al-Umam fi Iltiyâts alZhalam mengatakan:

 “Tujuan saya mengemukakan dua kaidah ini (kaidah ibâhah dan barâ’ah al-zimmah) adalah sebagai isyarat dalam rangka mengindentifikasi metode yang saya pakai terdahulu, bukan untuk beristidlal (berdalil) dengan keduanya”.

Hal ini menunjukkan bahwa tujuan beliau mengemukakan kaidah fikih adalah untuk memberikan isyarat yang dapat menunjukkan metode apa yang beliau pakai dalam kitabnya tersebut, bukan untuk menjadikannya sebagai dalil.

C.PERAN KAIDAH FIKHIYYAH DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT

Kaidah fikhiyah memiliki peran penting dalam kehidupan manusia karena membantu dalam menjalankan ibadah dengan benar, menetapkan hukum-hukum syariah yang adil, memberikan arahan moral dalam berinteraksi dengan sesama, serta mengatur berbagai aspek kehidupan agar sesuai dengan nilai-nilai Islam. Dengan mengikuti kaidah fikhiyah, manusia dapat hidup sesuai dengan tuntunan agama dan mencapai kebahagiaan spiritual serta keselamatan dunia dan akhirat.

Dari beberapa pendapat fukaha di simpulkan bahwa:

1. Kaidah fiqhiyyah adalah ranah ijtihad dalam menerapkan ‘illat hukum yang digali dari permasalahan-permasalahan hukum cabang berdasarkan hasil ijtihad mujtahid mutlak.

2. Kaidah fiqhiyyah mempunyai peran penting dalam rangka mempermudah pe mahaman tentang hukum Islam, di mana pelbagai hukum cabang yang banyak tersusun menjadi satu kaidah.

3. Pengkajian kaidah fiqhiyyah dapat mem bantu memelihara dan mengikat pelbagai masalah yang banyak dan saling bertentangan, menjadi jalan untuk meng hadirkan pelbagai hukum

4. Kaidah fiqhiyyah dapat mengembangkan malakah zhihiyah (daya rasa) fikih seseorang, sehingga mampu mentakhrij pelbagai hukum fikih yang tak terbatas sesuai dengan kaidah mazhab imamnya.


BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan

Qawaid al afiqhiyyah adalah hukum-hukum yang berkaitan dengan asas hukum yang dibangun oleh syar’i serta tujuan-tujuan yang dimaksud dalam pensyariatannya. dinukil dari pendapat Imam al Qarafy bahwa seorang faqih tidak akan besar pengaruhnya tanpa berpegang kepada ilmu kaidah fiqhiyyah.

Karena jika tidak demikian, akan berpengaruh pada hasil ijtihadnya yang bertentangan dengan dalil-dalil yang kulliy. Maka dengan menguasai bidang dan klasifikasi qawaid fiqhiyyah, akan mudah menguasai cabang disiplin ilmu lainnya.

B. Saran

Diharapkan para pembaca dapat memahami eksistensi kaidah dalam pembentukan fikih melalui beberapa pengertian yang sudah ditegaskan didalam makalah ini. Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, dan penulis berharap dari kritik dan saran pembaca agar lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah ini dengan sumber-sumber yang lebih banyak lagi.


DAFTAR PUSTAKA


Al-Zarqa, Mustafa Ahmad, Syarah Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah, 2020

Arifandi, Firman, ‘Qawaid Fiqhiyyah Sebagai Formulasi Hukum (Sejarah, Urgensi, Dan Sistematikanya Dalam Ibadah Dan Muamalah Syar’iyah)’, 2018, 36

Hilal, Syamsul, ‘Qawa’id Fiqhiyah Furu’iyyah Sebagai Sumber Hukum Islam’, Al-’Adalah, 11.2 (2013), 141–54

 Jaih Mubaraok, Kaidah Fiqih-Sejarah dan Asasi, (Jakarta: PT. Rajagrafindo, 2002), Cet. Pertama, h. 29.

Imâm al-Haramain Abî al-Ma’âlî ‘Abdul Mâlik Ibn Abî Muhammad al-Juwainî, alGhiyâtsi Ghiyâts al-Umam fî al-Tiyâtsi al-Zhulam,(Beirût: Dâr al-kutub al-‘ilmiyah, 1400 H), h.

Jaih Mubaraok, Kaidah Fiqih-Sejarah dan Asasi, op.cit., h. 30


Selasa, 14 Mei 2024

5.Sejarah Perkembangan Fikih Islam

MAKALAH
SEJARAH PERKEMBANGAN FIKIH ISLAM

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Kaidah Fikiyah
Dosen pengampu: Prof. Dr. Achmad Musyahid, M.Ag


DISUSUN OLEH:
MUH.RIZQY SULAEMAN(10300122078)

VIRA RAMADHANI (10300122093)

PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR



BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Pernahkah kita bertanya-tanya bagaimana Islam mengatur berbagai aspek kehidupan umat Muslim? Nah, jawabannya tertanam dalam ilmu fikih, sebuah disiplin ilmu yang kaya dan dinamis. Fikih bukan hanya sekedar kumpulan aturan, melainkan hasil ijtihad

(pemikiran dan penetapan hukum) para ulama berdasarkan wahyu (Al-Qur'an dan Sunnah) dan pemahaman mereka terhadap realitas sosial yang terus berkembang.

Fikih Islam, atau ilmu hukum Islam, merupakan landasan yang mengatur berbagai aspek kehidupan umat Muslim. Ia tidak hanya sekedar kumpulan aturan, tapi juga hasil ijtihad (pemikiran dan penetapan hukum) para ulama berdasarkan wahyu (Al-Qur'an dan Sunnah) dan pemahaman mereka terhadap realitas sosial yang senantiasa berkembang.

Mempelajari sejarah perkembangan fikih Islam menjadi amat penting. Melalui telaah sejarah ini, kita dapat memahami akar pemikiran dan metodologi fikih, menghargai keragaman mazhab dan pendapat dalam Islam, serta mengembangkan kemampuan untuk menjawab tantangan zaman melalui ijtihad kontekstual.

Makalah ini akan menguraikan perjalanan fikih Islam sejak masa Nabi Muhammad SAW hingga era modern.

B. Rumusan masalah

1.Bagaimana sejarah perkembangan fikih zaman rosulullah saw?

2.Bagaimana sejarah perkembangan fikih zaman sahabat?

3.Bagaimana sejarah perkembangan fikih zaman tabi’in?

4.Bagaimana sejarah perkembangan fikih zaman kontemporer?

C. Tujuan

1.Mengetehui sejarah perkembangan fikih zaman rosulullah saw

2.Mengetehui sejarah perkembangan fikih zaman sahabat

3.Mengetahui sejarah perkembangan fikih zaman tabi’in

4.Mengetahui sejarah perkembangan fikih zaman kontemporer

BAB II
PEMBAHASAN


1. Sejarah Perkembangan Fiqih Zaman Rosulullah SAW

            Ini Zaman berlangsung selama 20 tahun beberapa bulan yang di bagi menjadi dua masa yakni,masa makkah dan masa madinah.masa ini juga di sebut sebagai periode pertumbuhan,masa ini di mulai sejak kebangkitan(bi’tsah) nabi muhammad saw hingga beliau wafat(12 rabi’ul awwal 11hijriyah /8 juni 632 masehi).Masa Rasulullah SAW merupakan periode awal dan fundamental dalam sejarah perkembangan fikih Islam. Pada masa ini, fikih masih dalam tahap pembentukan, di mana sumber utama hukum Islam adalah Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.

Karakteristik Fikih Masa Rasulullah:

1. Sumber Utama:

o Al-Qur'an: Sebagai wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, Al-Qur'an menjadi sumber utama hukum Islam yang mengandung prinsip-prinsip universal dan abadi.

o Sunnah Nabi Muhammad SAW: Sunnah, yang terdiri dari perkataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi SAW, menjadi sumber hukum kedua yang menjelaskan dan memperjelas makna Al-Qur'an.

2. Ijtihad Langsung:

o Otoritas Rasulullah SAW: Rasulullah SAW memiliki otoritas langsung dalam menafsirkan Al-Qur'an dan menetapkan hukum berdasarkan wahyu dan pemahamannya. Beliau merupakan sumber hukum utama dan rujukan utama bagi umat Islam.

o Contoh Ijtihad Rasulullah SAW:

▪ Penetapan sholat lima waktu dan tata caranya.

▪ Menetapkan zakat dan kadarnya.

▪ Mengatur hukum puasa dan haji.

▪ Menyelesaikan perselisihan dan menegakkan hukum di antara masyarakat.

3. Fokus pada Prinsip:

o Nilai-nilai Fundamental: Perumusan hukum pada masa Rasulullah SAW lebih fokus pada prinsip-prinsip umum dan nilai-nilai fundamental Islam, seperti keadilan, kesetaraan, dan kemaslahatan umat.

o Contoh:

▪ Penetapan hukum riba yang melarang pengambilan bunga pinjaman.

▪ Menetapkan hukum warisan yang adil dan merata.

▪ Mengatur hukum pernikahan yang berlandaskan nilai-nilai sakinah mawaddah wa rahmah.

4. Penerapan Kontekstual:

o Kondisi Masyarakat: Penetapan hukum didasarkan pada konteks dan situasi yang dihadapi masyarakat saat itu.

o Contoh:

▪ Penetapan hukum zakat yang mempertimbangkan kemampuan dan kondisi fakir miskin.

▪ Menetapkan hukum jihad sebagai respons terhadap agresi dan penindasan.

▪ Mengatur hukum muamalah yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman.

5. Penekanan pada Moral dan Etika:

o Moralitas Islam: Fikih pada masa Rasulullah SAW tidak hanya mengatur hukum, tetapi juga menekankan moral, etika, dan spiritualitas Islam.

o Nilai-nilai Moral:

▪ Kejujuran, keadilan, amanah, dan tanggung jawab.

▪ Kesabaran, keikhlasan, dan rasa syukur.

▪ Toleransi, saling menghormati, dan menjaga persatuan.

Kebanyakan pada masanya rosulullah ini adalah ayat turun setelah terjadinya suatu peristiwa jadi,ada peristiwa dahulu dan setelah itu baru turun ayat dari allah swt.sumber hukum pada masa rosulullah ini adalah wahyu yang di turunkan kepada nabi muhammad saw baik yang kata-kata dan maknanya langsung dari allah swt (alqur’an) maupun hanya maknanya dari allah swt,sedang kata-katanya dari rosulullah saw(hadis).masa ini berlangsung sekitar pada 622 masehi hingga rosulullah wafat 11 hijriyah.perjalanan fikih tidak berhenti pada masa rosulullah saw ini namun di lanjutukan/di teruskan oleh para sahabat nabi.

2. Sejarah Perkembangan Fiqih Zaman Sahabat

            Periode ini bermula dari 11 hijriyah sejak rosulullah wafat hingga akhir abad pertama hijriyah kurang lebih 101 hijriyah. Pada masa sahabat dunia islam sudah meluas, yang mengakibatkan adanya masalah-masalah baru yang timbul, oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila pada periode sahabat ini di bidang hukum di tandai dengan penafsiran para dan ijtihadnya dalam kasus yang tidak ada nashnya. Disamping itu juga terjadi hal-hal yang tidak menguntungkan yaitu pecahnya masyarakat islam menjadi beberapa kelompok yang bertentangan secara tajam. Yang menurut Ammer Ali, pada hakikatnya: ”permusuhan suku dan permusuhan padang pasir yang di korbankan oleh perselisihan dinasti”. Perselisihan suku ini memang ada pada zaman jahiliyah, kemudian pada zaman Rasulullah dinetralisasi dengan konsep dan perlaksanaan ukhuwah islamiyah.

Masa sahabat Rasulullah SAW merupakan periode penting dalam perkembangan fikih Islam. Pada masa ini, fikih masih dalam tahap awal perkembangannya, namun mengalami kemajuan pesat seiring dengan berbagai peristiwa dan tantangan baru yang dihadapi umat Islam.

Sumber Hukum Fikih pada Masa Sahabat

Sumber hukum fikih pada masa sahabat Rasulullah SAW masih berfokus pada dua sumber utama, yaitu:

• Al-Qur'an: Sebagai sumber utama dan pedoman utama dalam kehidupan umat Islam.

• Sunnah Rasulullah SAW: Merupakan penjelasan dan penerapan Al-Qur'an yang dilakukan oleh Rasulullah SAW.

Selain dua sumber utama tersebut, sahabat Rasulullah SAW juga menggunakan beberapa sumber hukum lain, seperti:

• Ijma' sahabat: Kesepakatan para sahabat Rasulullah SAW dalam suatu perkara.

• Qiyas: Analogi hukum dengan cara menyamakan suatu perkara dengan perkara lain yang telah ada hukumnya dalam Al-Qur'an dan Sunnah.

• Istihsan: Mengutamakan suatu kemaslahatan daripada mengikuti hukum yang nampaknya lebih kuat.

Metode Ijtihad pada Masa Sahabat

Pada masa sahabat Rasulullah SAW, metode ijtihad yang digunakan masih bersifat sederhana dan praktis. Para sahabat langsung merujuk kepada Al-Qur'an dan Sunnah untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.

Beberapa metode ijtihad yang umum digunakan pada masa sahabat Rasulullah SAW antara lain:

• Al-Qur'an: Para sahabat berusaha memahami makna Al-Qur'an dengan cara mentadabburkan ayat-ayatnya, menghafalnya, dan mempelajari tafsirnya.

• Hadis: Para sahabat menghafal dan meriwayatkan hadis Rasulullah SAW, serta berusaha memahami maknanya dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

• Ijma' sahabat: Para sahabat saling bermusyawarah untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi, dan keputusannya mereka anggap sebagai kesepakatan bersama.

• Qiyas: Para sahabat menggunakan analogi hukum untuk menyelesaikan masalah yang belum ada hukumnya dalam Al-Qur'an dan Sunnah secara eksplisit.

Perkembangan Fikih pada Masa Khulafaur Rasyidin

Masa Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib) merupakan periode penting dalam perkembangan fikih Islam.

Pada masa ini, fikih mengalami perkembangan yang pesat karena beberapa faktor, antara lain:

• Perluasan wilayah Islam: Perluasan wilayah Islam ke berbagai daerah memunculkan berbagai masalah baru yang memerlukan penyelesaian hukum.

• Perbedaan pendapat: Para sahabat mulai berbeda pendapat dalam memahami dan menerapkan hukum Islam.

• Munculnya aliran-aliran pemikiran: Munculnya berbagai aliran pemikiran dalam Islam, seperti Ahlul Hadis dan Ahlul Ra'yi, turut mendorong perkembangan fikih.

Peninggalan Fikih pada Masa Sahabat

Para sahabat Rasulullah SAW telah meninggalkan banyak peninggalan berharga dalam bidang fikih, antara lain:

• Kumpulan hadis: Para sahabat banyak meriwayatkan hadis Rasulullah SAW, dan beberapa di antaranya menyusun kumpulan hadis, seperti Sahih Bukhari dan Sahih Muslim.

• Fatwa-fatwa sahabat: Para sahabat banyak memberikan fatwa kepada masyarakat untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.

• Sistem peradilan: Para sahabat mendirikan sistem peradilan untuk menyelesaikan perkara hukum di antara umat Islam.

3. Sejarah Perkembangan Fiqih pada zaman tabi’in

         Periode Tabi’in dimulai setelah lepas kekuasaan Ali sebagai khalifah dan kemudian tampuk kekuasaan dipegang oleh pemerintahan Muawiyah bin Abi Sofyan yang berakhir pada awal abad 2 H, seiring dengan berakhirnya dinasti Umayah. Tokoh-tokoh fiqih pada masa ini adalah murid-murid dari sahabat Nabi. Beberapa fenomena yang berkembang pada waktu itu diantaranya :

a) Kaum muslimin terpecah menjadi beberapa firqah karena motif politik.

b) Ulama-ulama muslimin telah menyebar ke beberapa negara besar islam.

c) Tersiar riwayat hadist yang sebelumnya hal itu dilarang dan belum dibukukan.

d) Terdapat manipulasi hadist karena moptif politik.

            Secara umum, terjadi perbedaan pendapat di kalangan para sahabat Nabi SAW, sedangkan para tabi’in mengambil pendapat-pendapat tersebut dari para sahabat. Mereka menghafal apa yang mereka dengar berupa Hadist dari Nabi SAW dan pendapat-pendapat para sahabat sekali us memahaminya, mengumpulkan apa saja yang diperselisihkan dikalangan sahabat, dan mentarjih sebagian pendapat atas sebagian yang lainnya. Dalam pendapat mereka, suatu pendapat meskipun berasal dari para sahabat senior, bisa lenyap (tidak berlaku), semisal pendapat tersebut menyeselisihi Hadist Nabi SAW yang masyhur di tengah-tengah mereka.

           Dengan demikian, masing-masing ulama tabi’in memiliki madzhab yang dianutnya, sehingga masing-masing daerah memiliki imam panutan,seperti : Sa’id bin Musayyib dan Salim bin Abdillah bin Umar di Madinah. Ulama Madinnah yang terkenal setslah mereka adalah Az-Zuhri, Yahya bin Sa’id dan Rabi’ah bin

Abdirrahman, Atha’ bin Abi Rabbah di Mekkah, Ibrahim An Nakha’i dan Asy Sya’bi di Kufah, Al Hasan di Bashrah, Thawus bin Kaisan di Yaman,dan Makhul di Syam.

           Allah SWT menjadikan orang-orang haus akan ilmu mereka, ingin mendapat ilmu serta mengambil darinya Hadist Rasulullah SAW, serta mengambil madzhab dan penelitian para ulama tersebut. Dan juga meminta fatwa, dan mengajukan berbagai kasus yang berkembang di tengah-tengah mereka kepada para ulama tersebut.

          Jadi, masing-masing kelompok memiliki pandangan tersendiri tentang suatu masalah menurut hasil penelitian yang mereka lakukan. Namun, perkara yang sudah menjadi kesepakatan para ulama, mereka pegang dengan kuat. Adapun masalahmasalah ikhtilaf (perselisihan pendapat), mereka pilih mana yang terkuat dan paling rajih. Apabila tidak menemukan jawaban atas suatu persoalan dari hadist-hadistn yang mereka hafal, Mereka tidak serta merta menggunakan isyarat dan petunjuk (dari dalil-dalil yang mereka hafal). Dengan cara itu, mereka merndapatkan permasalahan yang cukup banyak dalam setia bab fiqih.[6]

4. Sejarah Perkembangan Fiqih Pada Zaman Kontemporer

        Perkembangan fiqih kontemporer pada intinya merupakan respon fiqih terhadap masalahp-masalah baru yang tidak memiliki legitimasi (mengesahkan) klasik. Walaupun fiqih klasik tidak memiliki legitimasi terhadap persoalan baru bukan berarti fiqih klasik tidak mampu mampu menjawab persoalan baru, justru salah satu prinsip pembentukan fiqih kontemporer harus berpijak kepada fiqih klasik, dan metedologi pembentukan fiqih sebagai pijakan dasar pembentukan fiqih kontemporer (dasar ini sering terlupakan oleh pakar fiqih ketika menyelesaikan persoalan baru).

         Semakin majunya perkembangan teknologi dunia, tak heran kalau fiqih klasik menjadi sorotan orang-orang modernis (liberaris) yang beranggapan fiqih klasik sudah tidak akurat lagi pada zaman ini dan harus direnovasi kembali, bagi mereka tidak semua permasalahan di zaman serba mesin ini mampu dijawab dan di respon oleh kitab yamg dikarang pada ratusan tahun yang silam, ketika zaman mesin “sederhana”. Oleh karenanya, kata kelompok modernis ini, diperlukan kajian atau bahkan ijtihad baru, karena kitab kuning lahir dan tercipta untuk menjawab permasalahan di masanya.

          Menurut persepsi orang-orang modernis mereka beranggapan bahwa akal ( rasio) di atas segala-galanya dalam penentuan hukum. Menurur mereka setiap individu bebas menentukan hukum permasalahannya. Kelompok ini juga berpandangan bahwa ulama-ulama dulu juga manusia biasa yang karangannya masih perlu dikritisi dan di kaji ulang, sehingga di perlukan ijtihad baru yng lebih toleran dan bebas.

         Menurut Dr.Yusuf Al-qardawy dalam menganalisa fiqih kontemporer, beliau membagi dalam tiga golongan besar, yaitu tradisionalis, liberalis, dan mederatis.

1. Golongan pertama adalah golongan yang mengedepankan pemahaman literalistikatas teks-teks agama tanpa memandang perubahan zaman sehingga dalam golongan ini terjadi taqlid buta atas ulama-ulama terdahulu, tanpa adanya pembaharuan sama sekali. Dalam pandangan mereka, nash-nash yang sudah ada tidak boleh lagi digugat atau di kritis sehingga dengan adanya keyakinan seperti ini, pola fikir mereka menjadi kaku dan jumud. Maka tidak heran kalau banyak dari golongan ini yang berpikiran ekstim dan fundamental. Akibatnya mereka mengklaim golongan yang selain mereka adalah kafir

2. Golongan yang kedua yaitu golonga liberalis yang selalu mengedepankan rasio dari pad wahyu tuhan. Sehingga terjadilah pembentukan sautu hukum , karena suatu masalah apabila di hukumi oleh akal tanpa berpegangpada nash-nash AlQur’an dan hadist maka akan terjadi kontroversi melihay minimnya kemampuan akal dalam menandingi kalam tuhan.

3. Golongan yang ketiga adalah golongan orang-orang moderat atau kalau tidak berlebihan penulis namakan golonagan ini dengan golongan yang mencoba mengkolaborasi antara teks- teks klasik dengan teks-teks yang lebih bebas dan terbuka sehingga tidak terjadi lagi ke diskuki kakuan dan taqlid buta, di antatanya dengadi bukanya forum-fourm atau seminar-seminar untuk menetukan suatu hukum msalah

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

            Begitu panjang perjalanan ilmu fikih dari kemunculannya hingga sekarang dan mungkin hingga puluhan tahun ke depan fikih akan selalu berkembang karena memang hukum islam yang ada di dalam al-qur’an sebagai sumber utama islam dan ilmu fikih dan menjadi tempat olah berpikir para ahli agama untuk merespon masalah yang muncul sehingga syariat islam akan selalu relevan sebagai sumber solusi masalah yang muncul sepanjang zaman.

            Ketika datang imam-imam yang bermpat ,mereka mengikuti tradisi generasi yang sebelum mereka .imam-imam itu telah mencurahkan segala kemampuan yang ada pada mereka untuk memperkenalkan ilmu fikih ini dan membimbing manusia.dan mereka melarang orang bertaklid atau mengikuti secara membabi buta tanpa mengetahui dalil-dalil atau alasannya.

B. Saran

      Penulisan makalah ini di harapkan dapat bermanfaat untuk memperdalam pemahaman mahasiswa Agar mempunyai wawasan yang luas tentang hokumhokum islam,mempunyai kepekaan yang tinggi dalam bermadzhab dan mempunyai tanggung jawab besar dalam beragama .

          Makalah ini baik untuk dijadikan leteratur bacaan,rujukan penulisan ilmiah islamiah dan bahan kajian-kajian keagamaan lainnya.

            Menurut kelompok kami,ilmu fikih adalah ilmu yang sangat penting,karena isi dari pada pokok bahasan yang terkandung di dalamnya adalah hukum-hukum dalam islam.dan demikian fikih akan selalu berkembang dan terus berkembang dan aka selalu aktual dan di terima oleh berbagai elemen masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

A Sirry, Mun’im, Sejarah Fiqih Islam, Risalah Gusti, Surabaya, 1995.

Abdul wahab khalaf, ilmu ushulil fiqh,majlisul ala al indunisilid da’watil islamiah, jakarta, 1972

Arnold, Thomas w., 1983. The chalipate,routladge, london.

Baqillani,al,i’jaz al-qur’an,Daar al-maarif,t.th.kairo

Beik,muhammad al-khudhari, 1969. Ushul fikih,Darul fikri, Mesir Sulaiman Rasyid, H. Fiqh islam, penerbit at-thahiriyah, jakarta, tahun 1976 Yahya, imam Dinamika ijtihad Nu cet. Isemarang:wali songo press, 2009.

Yasid, abu,fiqh realitas, yogyakarta: pustaka belajar, 2005

Proyek Perguruan Tinggi Agama , pengantar ilmu fikih, jakarta, 1981


Selasa, 23 April 2024

4.Aspek Fikih Dalam Kaidah Hukum Islam

MAKALAH
ASPEK FIKIH DALAM KAIDAH HUKUM ISLAM



Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Kaidah Fikiyah Dosen pengampu: Prof. Dr. Achmad Musyahid, M.Ag


DISUSUN OLEH:
ANDIKA WAHYU SAPUTRA (10300122072)
MIFTAHUL JANNAH (10300122090)


PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2024

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Latar belakang masalah tentang aspek fikih dalam kaidah hukum Islam dapat bervariasi tergantung pada konteksnya. Namun, beberapa faktor yang mungkin menjadi latar belakang termasuk perubahan zaman yang memunculkan isu-isu baru, perbedaan pendapat di antara ulama tentang interpretasi hukum Islam, serta perubahan sosial dan budaya yang mempengaruhi cara pandang terhadap fikih dan hukum Islam secara umum.

Aspek fikih dalam kaidah hukum Islam meliputi kompleksitas perkembangan sosial, teknologi, dan ekonomi modern yang sering kali memunculkan pertanyaan baru tentang aplikasi hukum Islam dalam konteks kontemporer. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti bioteknologi dan keuangan global, menimbulkan dilema etis yang belum diatur secara eksplisit dalam fikih tradisional. Selain itu, perubahan sosial dan budaya yang cepat, seperti perubahan peran gender dan hubungan antarbudaya, menantang ulama untuk menafsirkan kembali prinsip-prinsip fikih dalam konteks yang berbeda.

Di samping itu, globalisasi juga membawa masalah baru dalam kaidah hukum Islam. Interaksi antarbudaya dan arus informasi yang bebas memperkenalkan individu Muslim pada pandangan dan praktik baru yang mungkin bertentangan dengan ajaran tradisional. Hal ini mendorong ulama untuk mengevaluasi kembali prinsip-prinsip fikih dalam menghadapi realitas global yang semakin terhubung ini.

Selain itu, perkembangan politik dan hukum di beberapa negara Muslim juga mempengaruhi latar belakang masalah fikih dalam kaidah hukum Islam. Sistem hukum yang berbeda-beda, baik yang berakar dari tradisi Islam atau hukum sekuler, sering kali memunculkan pertanyaan tentang interaksi antara hukum Islam dan hukum positif, serta bagaimana fikih dapat mengatasi tantangan-tantangan hukum modern.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan fikih?

2. Bagaimana aspek fikih dalam hukum Islam?

C. Tujuan 

1. Untuk mengetahui pengertian fikih.

2. Untuk mengetahui bagaimana dan pengaruh aspek fikih dalam kaidah hukum Islam.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Fikih

Menurut bahasa fikih berasal dari kata faqiyah-yafqahu-fiqhan yang berarti mengerti, faham akan sesuatu, sedangkan secara istilah fikih berarti ilmu yang mempelajari hukumhukum yang disyariatkan Allah Swt. Yang berkesinambungan dengan lisan dan perbuatan umat Islam yang bersumber dari dalil-dalil Al-Qur’an, As-sunnah dan Ijma’ (kesepakatan) dan ijtihad dari ulama Muslim. Fikih dalam Islam bertujuan untuk mencegah terjadinya kerusakan diantara kaum muslimin.

Fiqih memberikan pengertian kepemahaman dalam hukum syari’at yang sangat dianjurkan oleh Allah dan Rasulnya. Sedangkan orang yang ahli dalam ilmu fiqih itu sendiri disebut dengan faqih yang jamaknya disebut fuqoha. Menurutnya fiqih merupakan pengertian tentang hukum syari’at yang berhubungan dengan tingkah laku manusia. Jadi hakikat ilmu yang mempelajari tentang hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan pembuatan dan ucapan seseorang yang diambil dari dalil-dalil yang jelas, yaitu al-quran dan as-sunnah.

Fikih selalu berkaitan dengan syariah dan ushul fikih. Syariah merupakan hukumhukum yang terdapat dalam al-qur’an dan hadits. Ushul fikih adalah dasar pijakan bagi ilmu fikih dalam artian lain ushul fikih melahirkan fikih. Sedangkan fikih merupakan hasil pemahaman dan interpretasi para ahli atas peristiwa yang hukumnya tidak ditemukan dalam Al Quran dan Hadits. Syariah lahir terlebih dahulu dari fikih. Syariah ditentukan oleh Allah Swt, sedangkan fikih adalah hasil pemikiran manusia terhadap syariah. Syariah adalah landasan fikih, sedangkan fikih adalah pemahaman tentang syariah.

B. Aspek Fikih dalam Kaidah Hukum Islam

Fikih membahas hukum-hukum syara’ dari perbuatan seorang mukallaf. Berdasarkan sumber-sumber hukum Islam, fikih terdiri dari beberapa ruang lingkup yang membahas tentang hukum-hukum dalam kehidupan, sebagai berikut:

1. Fikih Ibadah

Hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah atau yang disebut juga dengan fiqh ibadah. Hukum ini membahas hal-hal seperti wudhu, shalat, puasa, haji dan

yang lainnya. Saklah satu contohnya adalah perintah melaksanakan shalat. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

 وَاَ قيِْمُواالصَّلٰوةَ وَاٰ توُاالزَّكٰوةَ وَ ا رْكَعوُْا مَعَ الرّٰكِعِيْنَ

"Dan laksanakanlah sholat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang yang rukuk." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 43)

Diceritakan dalam buku Kunci-Kunci Surga oleh Ahya A. Shobari, tentang Bani

Israil yang diperintahkan untuk mendirikan shalat dan menunaikan zakat oleh Allah SWT. Orang yang masuk Islam tidak hanya sekedar bersyahadat, tapi juga harus mengerjakan shalat dan zakat.

2. Fikih Muamalah

Hukum fiqh muamalah yakni hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dan hubungan diantara mereka, seperti jual beli, jaminan, sewa menyewa, pengadilan dan yang lainnya. Salah satu contoh sebagai berikut:

Dalam Islam dikenal berbagai macam akad (perikatan/ perjanjian) diantaranya adalah jual beli dan sewa menyewa. Sewa menyewa dalam bahasa arab diistilahkan dengan al-ijārah. Menurut pengertian hukum Islam sewa menyewa diartikan sebagai suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian. Allah swt. Berfirman dalam QS. Al Qashash/28: 26.

 قَا لتَْ اِحْدٰ ٮہُمَا يٰٰۤاَ بتَِ اسْتأَجِْرْه ُ ۖ اِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتـَأجَْرْتَ الْقوَِيُّ الَْْ مِيْنُ

"Dan salah seorang dari kedua (perempuan) itu berkata, "Wahai ayahku! Jadikanlah dia sebagai pekerja (pada kita), sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil sebagai pekerja (pada kita) ialah orang yang kuat dan dapat dipercaya."" (QS. Al-Qasas 28: Ayat 26)

3. Fiqh al-ahwal as-sakhsiyah

Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah kekeluargaan atau yang disebut jugadengan fiqh al-ahwal as-sakhsiyah. Hal yang dibahas dalam hukum ini meliputi pernikahan, talak, nasab, persusuan, nafkah, warisan dan yang lainnya. Salah satu contohnya adalah tentang menjaga kehamilan sebagai berikut:

Konsepsi perlindungan hukum Islam berlandaskan pada makna menjaga atau memelihara, dengan demikian perlindungan terhadap kehamilan seorang wanita menekankan pada aspek penjagaan dan pemeliharaan kehamilan tersebut. Konsepsi

perlindungan hukum Islam terhadap kehamilan adalah menekankan pada aspek penjagaan jiwa seorang wanita dengan memelihara kemaslahatan diri wanita ketiak ia hamil. Prinsip-prinsip perlindungan hukum Islam terhadap kehamilan seorang Wanita antara lain adalah prinsip perlindungan terhadap Jiwa/Hifzu al-Nafsi, perencanaan kehamilan dan prinsip perlindungan terhadap Kehormatan.

4. Fikih Siyasah

Hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban pemimpin (kepala negara) yang disebut juga dengan fiqh siyasah syar’iah. Hukum ini membahas hal-hal yang berkaitan dengan penegakkan keadilan, penerapan hukum-hukum syari’at.

Salah satu aspek fikih yang dirumuskan oleh ulama fikih adalah kaidah fikih yang mengatur tentang kebijakan seorang pemimpin negara dan pemimpin masyarakat. Dalam salah satu karya tulis Prof. Dr. Achmad Musyahid, M.Ag. menyebutkan ada lima hal penting yang menjadi tolok ukur kemaslahatan yang harus direalisasikan oleh seorang pemimpin tersebut, yaitu melindungi dan menjaga kemaslahatan agama dalam sebuh negara, melindungi dan menjaga kemaslahatan jiwa setiap warga negara, melindungi dan menjaga kemaslahatan akal manusia dari berbagai kerusakan, melindungi dan menjaga keturunan dari kepunahan serta melindungi dan menjaga harta manusia dari kerusakan.

Abd al-Karīm Zaidān dalam pernyataannya menekankan pada tiga hal pokok yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin, yaitu: 1) Melayani orang-orang yang berada di bawah kepemimpinannya. 2) Menegakkan keadilan. 3) Merealisasikan kemaslahatan untuk manusia.5

5. Fikih Jinayah

Hukum-hukum yang berkaitan dengan hukuman terhadap pelaku-pelaku kejahatan,serta penjagaan keamanan dan ketertiban yang disebut juga dengan fiqh jinayah. Salah satu contohnya sebagai berikut: Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman di dalam surah An-Nur: 24/2.

الَزَّا نيَِةُ وَا لزَّا نِيْ فَا جْلِدوُْا كُلَّ وَا حِدٍ مِنْهُمَا مِائةََ جَلْدةٍَ ۖ وَّلَْ تأَخُْذكُْمْ بهِِمَا رَأْفَةٌ فِيْ دِيْنِ اللِّّٰٰ اِنْ كُنْتمُْ تؤُْمِنوُْنَ بِا للِّّٰٰ وَا لْيَوْمِ الْْٰ خِرِ ۖ وَلْيشَْ هَدْ عَذاَ بهَُمَا طَائٓفَِةٌ مِنَ الْمُؤْمِنيِْنَ

"Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari Kemudian; dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang yang beriman." (QS. An-Nur 24: Ayat 2).

Ayat tersebut menerangkan bahwa orang-orang Islam yang berzina, baik perempuan mapun laki-laki yang sudah akil baligh, merdeka dan tidak muhsan, wajib didera seratus kali dera, sebagaihukuman atas dosa dan maksiat yang telah diperbuatnya. Bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir tidak dibenarkan bahkan dilarang menaruh belas kasihan kepada pelanggaran-pelanggaran hukum itu untuk menjalankan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan dalam agama Allah.

6.Hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlak dan prilaku, yang baik maupun yang buruk. Hukum ini disebut dengan adab dan akhlak.


BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan

Menurut bahasa fikih berasal dari kata faqiyah-yafqahu-fiqhan yang berarti mengerti, faham akan sesuatu, sedangkan secara istilah fikih berarti ilmu yang mempelajari hukumhukum yang disyariatkan Allah Swt. Yang berkesinambungan dengan lisan dan perbuatan umat Islam yang bersumber dari dalil-dalil Al-Qur’an, As-sunnah dan Ijma’ (kesepakatan) dan ijtihad dari ulama Muslim. Fikih dalam Islam bertujuan untuk mencegah terjadinya kerusakan diantara kaum muslimin.

Fiqh secara bahasa memiliki arti paham, sedangkan secara istilah fiqh berarti ilmuyang mempelajari hukum-hukum yang disyariatkan Allah Swt yang berkesinambungan dengan lisan dan perbuatan umat Islam yang bersumber dari dalil-dalil

Al-qur’an, As-sunnah, ijma’ (kesepakatan) dan ijtihad dari ulama muslim. Adapun tujuan dari fiqhdalam Islam ialah untuk mencegah terjadinya kerusakan diantara kaum muslimin.Berdasarkan sumber-sumber hukumIslam, diperoleh tujuh kitab yang membahas hukum-hukum dalam kehidupan sebagai berikut:

1. Hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah atau yang disebut juga dengan fiqh ibadah. Hukum ini membahas hal-hal seperti wudhu, shalat, puasa, hajidan yang lainnya.

2. Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah kekeluargaan atau yang disebut jugadengan fiqh al-ahwal as-sakhsiyah. Hal yang dibahas dalam hukum ini meliputi pernikahan, talak, nasab, persusuan, nafkah, warisan dan yang lainnya.

3. Hukum fiqh muamalah yakni hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia danhubungan diantara mereka, seperti jual beli, jaminan, sewa menyewa, pengadilandan yang lainnya.

4. Hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban pemimpin (kepalanegara) yang disebut juga dengan fiqhsiasah syar’iah. Hukum ini membahas hal-halyang berkaitan dengan penegakkan keadilan, penerapan hukum-hukum syari’at.

5. Hukum-hukum yang berkaitan dengan hukuman terhadap pelaku-pelaku kejahatan,serta penjagaan keamanan dan ketertiban yang disebut juga dengan fiqhal-ukubat.

6. Hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlak dan prilaku, yang baik maupun yang buruk. Hukum ini disebut dengan adab dan akhlak

B. Saran

Dalam makalah ini masih banyak kekurangan dan kekhilafan, oleh karena itu pemakalah mengharapkan kritik dan saran terutama dari dosen pengampu demi kesempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Wahyuddin. “Hubungan Ilmu Fiqih Dengan Ilmu Pengetahuan Lainnya.” Jurnal Pendidikan Kreatif 2, no. 2 (2021): 57–68. https://doi.org/10.24252/jpk.v2i2.31611.

Idrus, Achmad Musyahid. “Kebijakan Pemimpin Negara Dalam Perspektif Kaidah Fikih : Tasarruf Al-Imam Manutun Bil Maslahah.” Al Daulah : Jurnal Hukum Pidana Dan Ketatanegaraan 1, no. 1 (2021): 123. https://doi.org/10.24252/ad.v1i1.26278.

Ismail, Hajar. “Iain Palopo.” Core.Ac.Uk, 2019.

https://core.ac.uk/download/pdf/198238758.pdf.

“Perlindungan Hukum Terhadap Kehamilan Istri ( Perspektif Hukum Keluarga Islam ) Legal

Protectionagainst Wife Pregnancy ( Islamic Family Law Perspective ) Achmad Musyahid Idrus UIN Alauddin Makassar Email : Ahmadmusyahid123@gmail.Com Info Artikel Abstract ,” 2020, 1–16.

Qayyuum Nugraha, Aliyyul, Hamzah Hasan, and Achmad Musyahid. “Telaah Pasal 412 Tindak Pidana Perzinaan Perspektif Hukum Pidana Islam” 8 (2024): 8298–8310.


Senin, 22 April 2024

3.Aspek Syariah Dalam Hukum Islam

MAKALAH ASPEK SYARIAH DALAM HUKUM ISLAM

Dosen Pengampu: Prof. Dr. Achmad Musyahid, M.Ag.



Disusun Oleh :

Muh. Iqbal (10300122073)

Muh. Athallah (10300122075)

St.Nur Aisyah ( 10300122082)


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUUM
PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
T/A 2023-2024


ABSTRAK

Materi ini membahas tentang memahami Aspek syariah, Syariat merupakan jalan hidup muslim, Serta ketetapan-ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya. Telah disepakati para ulama bahwa al-Qur’an adalah sumber hukum utama bagi umat Islam, berikutnya adalah hadits/sunnah, dan ijma’. Al-Qur’an merupakan sebuah keseluruhan dari semua aturan dalam situasi dan kondisi apapun bagi umat manusia. Seluruh aspek kehidupan manusia ada di dalamnya. Muhammad SAW. sebagai seorang rasul dan pemegang mukzijat al-Qur’an diberi keistimewaan untuk menjelaskan secara rinci hal-hal yang masih bersifat umum di dalam al-Qur’an. syari’ah identik dengan agama. Hal ini sejalan dengan firman Allah dengan surah al-Maidah: 48 dan al-Jasiyah: 18.8 Walaupun pada awalnya syari’ah diartikan dengan agama.

Kemudian ia dikhususkan untuk hukum amaliyah. Pengkhususan ini untuk membedakan antara agama dan syari’ah, karena pada hakekatnya agama itu satu dan berlaku secara universal. Sedangkan syariah berbeda antara satu umat dengan umat lainnya. Qotadah, menurut yang diriwayatkan oleh Thabari, mengkhususkan lagi pemakaian syari’ah untuk hal-hal yang menyangkut kewajiban, sanksi hukum, perintah dan larangan. Dalam perkembangan selanjutnya kata syari’ah digunakan untuk menunjukkan hukum-hukum Islam, baik yang ditetapkan langsung oleh al-Qur’an dan Sunnah, maupun yang telah dicampuri oleh pemikiran manusia (ijtihad).

PEMBAHASAN


1. PENGERTIAN SYARIAH

Menurutkan akar katanya عرش yang berarti jalan menuju sumber air. Menurut istilah Syariah adalah Hukum yang diatur oleh Allah SWT, untuk hambanya melalui lisan para Rasul. Para Rasul menyampaikan kepada umatnya untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Baik berbentuk aqidah, hukum, akhlak, muamalah dan sebagainya, secara singkat dapat dikatakan bahwa syariah Islam adalah keseluruhan ajaran Islam yang bersumber dari wahyu Allah SWT.

Dalam wacana keislaman, kata syari’ah (atau syariat) memang memiliki makna dan signifikansi yang penting, karena secara eksplisit tercantum dalam al- Qur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW, dua sumber utama ajaran Islam.1 Dan dapat dilihat dari segi ilmu hukum, syariat merupakan norma hukum dasar yang ditetapkan Allah, yang wajib diikuti oleh orang Islam bedasarkan iman yang berkaitan dengan akhlak, baik dalam hubungannya dengan Allah maupun dengan sesama manusia dan benda dalam masyarakat. Norma hukum dasar ini dijelaskan dan atau dirinci lebih lanjut oleh Nabi Muhammad saw. sebagai Rasul-Nya. Karena itu, syariat terdapat di dalam al-Qur’an dan di dalam kitab-kitab Hadist.2

2. SUMBER-SUMBER SYARIAH

-Al-Qur’an

Al-Qur’an diturunkan menjadi pegangan bagi mereka yang ingin mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Tidak diturunkan untuk satu umat dalam satu abad saja, tetapi untuk seluruh umat dan untuk sepanjang masa, karena itu luas ajaran-ajarannya adalah melingkupi seluruh umat manusia. Al-Qur’an dijadikan sumber hukum Islam mengindikasikan bahwa agama Islam menghendaki agar sifat-sifat yang termaktub dalam ajaran dan kenetuan yang mengatur perilaku manusia dalam al-Qur’an diterapkan dalam waktu dan kondisi yang tepat. Misalnya dikehendaki keutamaan sifat pemaaf, tetapi juga diwaktu tertentu dikehendaki pula ketentuan hukum dilaksanakan dengan tegas.Al-Qur’an menghendaki manusia agar selalu berbuat baik, sekalipun terhadap orang yang pernah berbuat jahat kepadanya. Al-Qur’an mengajarkan manusia untuk tetap

1 B A B Ii, ‘No Title’, November, 2020.

2 Nurhayati Nurhayati, ‘Memahami Konsep Syariah, Fikih, Hukum Dan Ushul Fikih’, Jurnal Hukum Ekonomi Syariah, 2.2 (2018), 124–34 <https://doi.org/10.26618/j-hes.v2i2.1620>.

suci, tetapi tidak dikebiri. Manusia harus berbakti kepada Allah ta‟ala, tetapi tidaklah menjadi rahib atau pertapa. Manuasia harus berendah hati, tetapi jangan melupakan harga diri. manusia dapat menggunakan hak-haknya tanpa mengganggu hak-hak orang lain. Manusia diwajibkan mendakwahkan agama dengan jalan hikmah dan kebijaksanaan.

-Hadist

Hadits atau Sunnah merupakan sumber hukum Islam kedua memiliki peranan yang penting setelah al-Qur’an. Hadits merinci keumuman paparan ayat- ayat al-Qur’an, karena al-Qur’an sebagai kitab suci dan pedoman hidup umat Islam diturunkan pada umumnya dalam kata-kata yang perlu dirinci dan dijelaskan lebih lanjut, agar dapat dipahami dan diamalkan. Yang dimana Hadits juga berfungsi antara lain menjadi penjelas terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang belum jelas atau menjadi penentu hukum yang tidak ada dalam al-Qur’an.

-Ijtihad

Ijtihad secara bahasa berasal dari kata al-jahd dan al-juhd yang berarti kemampuan, potensi dan kesanggupan. Dalam Lisân al-'Arab dikatakan bahwa al-juhd berarti menggunakan dan memaksimalkan kemampuan seseorang untuk mencapai sesuatu. Wazn ifti'âl menunjukkan arti dari akar kata muballaghah (berlebihan). Dalam hal ini ijtihad lebih bermakna mubalaghat (menggunakan kemampuan) dibandingkan arti kata jahada (mampu). Berdasarkan pengertian tersebut, ijtihad menurut bahasanya berarti mengeluarkan segala daya upaya dan memeras seluruh kemampuan untuk sampai pada suatu hal dari berbagai hal yang masing-masing mengandung akibat kesulitan dan keberatan (masyaqqah).3

-Ijma

Sebagai Sumber Hukum yang merupakan suatu keharusan ketaatan bagi umat Islam terhadap hasil Ijma’ ulama pada suatu masalah, dan hukumnya wajib taat. Hukum dalam permasalahan yang telah diputuskan dalam ijma’ tersebut memiliki nilai qath‟iy tidak dapat dihapus ataupun ditentang oleh hasil ijtihad contohnya, sebab kesepakatan pendapat dari para mujtahid dalam ijma’ itu sudah menunjukkan kebenaran yang sesuai dengan jiwa Syari’ah dan dasar-dasar yang umum. Sudah menjadi kesepakatan ulama bahwa hasil ijtihad juga sebagai sumber hukum. Hasil ijtihad para ulama bisa dijadikan rujukan untuk menetapkan

3 Pengantar Hukum Islam, No Title.

keputusan hukum, sehingga dalam Islam hasil ijtihad menjadi salah satu sumber hukum.4

-Qiyas

Qiyas merupakan suatu cara penggunaan ra’yu untuk menggali hukum syara”dalam hal-hal yang nash al-Qur’an dan sunnah tidak menetapkan hukumnya secara jelas. meskipun qiyas tidak menggunakan nash secara langsung, tetapi karena merujuk kepada nash, maka dapat dikatakan bahwa qiyas juga menggunakan nash walaupun tidak secara langsung.Mayoritas ulama Syafi’iyyah mendefinisikan qiyas dengan”Membawa (hukum) yang (belum) diketahui kepada (hukum) yang diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya, baik hukum maupun sifat.5

3. ASPEK SYARIAH

Adapun aspek pokok dalam ajaran agama islam 1.Aspek Keyakinan (Aqidah)

Aqidah adalah bentuk dari kata “aqada, ya’qidu, ‟aqdan-aqidatan” yang berarti simpulan, ikatan, sangkutan, dan perjanjian.Aqidah merupakan akar bagi setiap perbuatan manusia. Aqidah juga bisa diibaratkan bagaikan suatu bangunan, aqidah adalah pondasinya dari sebuah bangunan yang harus kokoh dan kuat agar bangunan tidak condong apalagi roboh, sedangkan ajaran Islam yang lain, seperti ibadah dan akhlaq, adalah sesuatu yang dibangun di atasnya. Rumah yang dibangun tanpa pondasi adalah suatu bangunan yang sangat rapuh.

Secara umum, aqidah dalam Islam berarti perjanjian teguh manusia dengan Allah yang berisi tentang kesediaan manusia untuk tunduk dan patuh secara sukarela tanpa keraguraguan pada kehendak Allah. Yang dimana mengandung enam dasar perjanjian, yaitu: keyakinan hati bahwa tiada Tuhan selain Allah, keyakinan hati bahwa ada hal yang ghaib seperti malaikat, keyakinan hati bahwa ada manusia yang diberi amanah kerasulan oleh Allah, keyakinan hati bahwa ada

4 Muannif Ridwan, M Hasbi Umar, and Abdul Ghafar, ‘SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM DAN IMPLEMENTASINYA (Kajian Deskriptif Kualitatif Tentang Al-Qur’an, Sunnah, Dan Ijma’)’, Borneo: Journal of Islamic Studies, 1.2 (2021), 28–41.

5 Edy Muslimin, ‘Qiyas Sebagai Sumber Hukum Islam’, Mamba’ul ’Ulum, 15.2 (2019), 77–87

<https://doi.org/10.54090/mu.25>.

pertanggungjawaban amal perbuatan setelah kematian, dan keyakinan hati bahwa ada aturan pasti yang melandasi kehidupan ini yang dibuat Allah.6

2. Aspek Norma atau Hukum (Syariah)

Aspek ini mengatur hubungan manusia dengan Allah (hablum-minallah), sesama manusia (hablum-minannas), dan hubungan manusia dengan alam semesta(hablum-minal alami). Pada dasarnya syariah berarti gaya hidup yang ditentukan oleh Allah SWT. panduan hidup di dunia dan diakhirat.panduan ini hidup di dunia dan di khirat. yang dimana panduan yang bersangkutan adalah sumber hukum Islam yang bersumber dari Al-Quran, Sunnah maupun Ijtihad para ulama.

Aspek Syariah juga mencakup hukum ibadah, muamalah dalam arti pertukaran, munakahat dalam hubungan keluarga, siyasah dalam konteks masyarakat, jinayat yang mencakup kejahatan.7

3. Aspek Perilaku (Akhlak)

Menurut istilah etimology (bahasa) perkataan akhlak berasal dari bahasa Arab yaitu, اخلق yang mengandung arti “budi pekerti, tingkah laku, dan tabiat”. Sedangkan secara terminologi (istilah), makna akhlak adalah suatu sifat yang melekat dalam jiwa dan menjadi kepribadian, dari situlah memunculkan perilaku yang spontan, mudah, tanpa memerlukan pertimbangan.

Akhlak tidak memiliki pembatasnya, ia melingkupi dan mencakup semua kegiatan, usaha, dan upaya manusia, yaitu dengan nilai-nilai perbuatan. Dalam perspektif Islam, akhlak itu komprehensif dan holistik, dimana dan kapan saja mesti berakhlak. Oleh sebab itulah merupakan tingkah laku manusia dan tidak akan pernah berpisah dengan aktivitas manusia. Jadi, ruang lingkup akhlak Islam adalah seluas kehidupan manusia itu sendiri yang mesti diaplikasikan fi kulli al- makan wa fi kulli al zaman. Akhlak Islam meliputi:

1). Hubungan manusia dengan Allah sebagai penciptanya

2.) Akhlak terhadap sesama manusia

3.) Akhlak terhadap lingkungan.8


6 M.Ag Dr. H Khairil Anwar, ‘POKOK POKOK AJARAN ISLAM Penulis’, 2021, 1–77.

7 Departemen Pendidikan Nasional DPN, ‘Kamus Besar Bahasa Indonesia’, 2 (2008), 500.

8 Al- Ghazali, ‘Teori Akhlak’, Ihya’ Ulumuddin, Juz 3, (Qahirah:Isa Al-Bab Al-Halabi, Tt), 2008, 52.

KESIMPULAN


Syariah adalah Hukum yang diatur oleh Allah SWT, untuk hambanya melalui lisan para Rasul. Para Rasul menyampaikan kepada umatnya untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Baik berbentuk aqidah, hukum, akhlak, muamalah dan sebagainya, secara singkat dapat dikatakan bahwa syariah Islam adalah keseluruhan ajaran Islam yang bersumber dari wahyu Allah SWT. Yang dimana memiliki sumber hukum diantaranya, Al-Qur’an, hadist, ijtihad, ijma, dan qiyas. Serta memiliki tiga aspek, yang pertama aspek keyakinan atau akidah, kedua aspek norma atau hukum, dan yang terakhir aspek perilaku atau akhlak.


DAFTAR PUSTAKA

DPN, Departemen Pendidikan Nasional, ‘Kamus Besar Bahasa Indonesia’, 2 (2008), 500

Dr. H Khairil Anwar, M.Ag, ‘POKOK POKOK AJARAN ISLAM Penulis’, 2021, 1–77

Ghazali, Al-, ‘Teori Akhlak’, Ihya’ Ulumuddin, Juz 3, (Qahirah:Isa Al-Bab Al- Halabi, Tt), 2008, 52

Ii, B A B, ‘No Title’, November, 2020 Islam, Pengantar Hukum, No Title

Muslimin, Edy, ‘Qiyas Sebagai Sumber Hukum Islam’, Mamba’ul ’Ulum, 15.2 (2019), 77–87 <https://doi.org/10.54090/mu.25>

Nurhayati, Nurhayati, ‘Memahami Konsep Syariah, Fikih, Hukum Dan Ushul Fikih’, Jurnal Hukum Ekonomi Syariah, 2.2 (2018), 124–34

<https://doi.org/10.26618/j-hes.v2i2.1620>

Ridwan, Muannif, M Hasbi Umar, and Abdul Ghafar, ‘SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM DAN IMPLEMENTASINYA (Kajian Deskriptif Kualitatif Tentang Al-Qur’an, Sunnah, Dan Ijma’)’, Borneo: Journal of Islamic Studies, 1.2 (2021), 28–41


2. Kaidah Hukum Islam

MAKALAH
KAIDAH HUKUM ISLAM

Dosen Pengampu: Prof. Dr. Achmad Musyahid, M.Ag.


Disusun Oleh:
Hardianti.S (10300122096)
Keisya Haliza (10300122100)

PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
ALAUDDIN MAKASSAR
2024

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan Rahmat, Hidayah dan Inayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Tanpa bantuannya, kami mungkin tidak akan memiliki pilihan untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik.

Makalah kami diakumulasikan berdasarkan permintaan atau tugas yang diberikan oleh dosen kami. Selain itu, kami menyusun makalah ini dengan harapan makalah ini dapat bermanfaat dan menambah pemahaman bagi para pembacanya, dan bagi kami kelompok penyusunnya secara khusus. Makalah yang berjudul “Kaidah Hukum Islam” ini dikumpulkan berdasarkan data dan informasi dari berbagai sumber.

Afirmasi kami ingat untuk berbagi dengan orang-orang yang telah membantu dan mendukung selama waktu yang dihabiskan untuk menyiapkan makalah ini. Saya memahami bahwa makalah ini jelas memiliki kekurangan walaupun harus diperbaiki, oleh karena itu kami mengharapkan analisis dan ideide yang bermanfaat dari para pembaca. kami selaku penulis mohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini terdapat kesalahan penyusunan atau blunder yang berbeda-beda. Idealnya makalah ini dapat memberikan manfaat dan menambah informasi bagi para pembacanya.


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengertian dan ruang lingkup al-Qawaid al-Fiqhiyyah (kaidah-kaidah hukum Islam) menjadi penting dalam konteks fikih karena mencakup berbagai hukum furu' yang sangat luas. Dalam pemahaman ini, qawaid (kaidah) merujuk pada aturan atau patokan, sementara fiqhiyah merujuk pada ilmu yang menerangkan hukum syariah yang amaliyah. Dengan demikian, al-Qawaid al-Fiqhiyyah adalah dasar-dasar fiqih yang bersifat umum dan menyeluruh, berisi hukum-hukum syara’ yang umum terhadap berbagai peristiwa hukum.

Ruang lingkup al-Qawaid al-Fiqhiyyah meliputi empat bagian utama, yaitu al-Asasiyyah al-Kubra, al-Kulliyyah, al-Madzhabiyyah, dan al-Mukhtalaf fiha fi al-Madzhab al-Wahid. Setiap bagian memiliki peran dalam memahami dan mengklasifikasikan masalah-masalah fikih yang beragam, memudahkan para mujtahid dalam meng-istinbat-kan hukum bagi suatu masalah dengan menggolongkan masalah serupa di bawah lingkup satu kaidah.

Kedudukan al-Qawaid al-Fiqhiyyah dalam studi fikih adalah penting karena merupakan simpul penyederhana dari masalah-masalah fikih yang begitu banyak. Kaedah-kaedah ini digunakan sebagai panduan bagi mujtahid dalam menetapkan hukum, baik sebagai dalil pelengkap setelah menggunakan Alquran dan Sunnah, maupun sebagai dalil mandiri yang berdiri sendiri. Tanpa adanya kaedah-kaedah ini, hukum fikih akan tersebar tanpa ikatan dasar yang mengarahkan, sehingga kaedah-kaedah ini membuka jalan bagi usaha mengadakan perbandingan dan memelihara konsistensi hukum Islam.

B. Rumusan Masalah

1. Jelaskan pengertian kaidah kaidah hukum islam (al-qawā‘id alfiqhiyyah)?

2. Jelaskan ruang lingkup al-qawaid al-fiqhiyyah?

3. Jelaskan kedudukan al-qawaid al-fiqhiyyah?

1

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pengertian kaidah kaidah hukum islam (al-qawā‘id alfiqhiyyah).

2. Untuk mengetahui ruang lingkup al-qawaid al-fiqhiyyah.

3. Untuk mengetahui kedudukan al-qawaid al-fiqhiyyah.

  

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kaidah Kaidah Hukum Islam (al-Qawā‘id al-Fiqhiyyah)

Dalam pengertian ini ada dua terminologi yang perlu kami jelaskan terlebih dahulu, yaitu qawaid dan fiqhiyah. Kata qawaid merupakan bentuk jama' dari kata qaidah, dalam istilah bahasa Indonesia dikenal dengan kata 'kaidah' yang berarti aturan atau patokan, dalam tinjauan terminologi kaidah mempuyai beberapa arti.

Dr. Ahmad asy-Syafi'I menyatakan bahwa kaidah adalah:

 القضايا الكلية التى يندرج تحت كل واحدة منها حكم جزئيات كثيرة

"Hukum yang bersifat universal (kulli) yang diikuti oleh satuan-satuan hukum juz'i yang banyak"

Sedangkan secara terminologi fiqh berarti, menurut al-Jurjani al-Hanafi:

العلم بالاحكام الشريعة العملية من ادلتها التفصلية وهو علم مستنبط بالرأي والاجتهاد ويحتاج فيه الى النظر

 والتأمل

”ilmu yang menerangkan hukum hukum syara yang amaliyah ang diambil dari dalil-dalilnya yang tafsily dan diistinbatkan melalui ijtihad yang memerlukan analisa dan perenungan".

Dari uraian pengertian diatas baik mengenai qawaid maupun fiqhiyah maka yang dimaksud dengan qawaid fiqhiyah adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Tajjudin as-Subki:

 الامر الكلى الذى ينطبق على جزئيات كثيرة تفهم احكامها منها

"Suatu perkara kulli yang bersesuaian dengan juziyah yang yang banyak yang dari padanya diketahui hukum-hukum juziyat itu".

Menurut Musthafa az-Zarqa, Qowaidul Fiqhyah ialah : dasar-dasar fiqih yang bersifat umum dan bersifat ringkas berbentuk undang-undang yang berisi hukum-

3

hukum syara’ yang umum terhadap berbagai peristiwa hukum yang termasuk dalam ruang lingkup kaidah tersebut.

B. Ruang lingkup al-Qawaid al-Fiqhiyyah

Menurut M. az-Zuhayliy dalam kitabnya al-Qawa’id al-fiqhiyyah berdasarkan cakupannya yg luas terhadap cabang dan permasalahan fiqh, serta berdasarkan disepakati atau diperselisihkannya qawa’id fiqhiyyah tersebut oleh madzhabmadzhab atau satu madzhab tertentu, terbagi pada 4 bagian, yaitu:

1. Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Asasiyyah al- Kubra, yaitu qaidah-qaidah fiqh yangg bersifat dasar dan mencakup berbagai bab dan permasalahan fiqh. Qaidah-qaidah ini disepakati oleh seluruh madzhab. Yang termasuk kategori ini adalah:

a. Al-Umuru bi maqashidiha.

b. Al-Yaqinu la Yuzalu bi asy-Syakk.

c. Al-Masyaqqatu Tajlib at- Taysir.

d. Adh-Dhararu Yuzal,

e. Al- ’Adatu Muhakkamah.

2. Al-Qawa’id al-Kulliyyah : yaitu qawa’id yang menyeluruh yang diterima oleh madzhab-madzhab, tetapi cabang-cabang dan cakupannya lebih sedikit dari pada qawa’id yang lalu. Seperti kaidah: al-Kharaju bi adhdhaman/Hak mendapatkan hasil disebabkan oleh keharusan menanggung kerugian, dan kaidah: adh-Dharar al- Asyaddu yudfa’ bi adh-Dharar alAkhaf Bahaya yang lebih besar dihadapi dengan bahaya yang lebih ringan. Banyak kaidah- kaidah ini masuk pada kaidah yang 5, atau masuk di bawah kaidah yg lebih umum.

3. Al-Qawa’id al-Madzhabiyyah (Kaidah Madzhab), yaitu kaidah-kaidah yang menyeluruh pada sebagian madzhab, tidak pada madzhab yang lain.

Kaidah ini terbagi pada 2 bagian:

a. Kaidah yang ditetapkan dan disepakati pada satu madzhab.

b. Kaidah yang diperselisihkan pada satu madzhab.

Contoh, kaidah: ar-Rukhash la Tunathu bi al- Ma’ashiy Dispensasi tidak didapatkan karena maksiat. Kaidah ini masyhur di kalangan madzhab

Syafi’i dan Hanbali, tidak di kalangan mazhab Hanafi, dan dirinci di kalangan madzhab Maliki.

4. Al-Qawa’id al-Mukhtalaf fiha fi al-Madzhab al-Wahid, yaitu kaidah yang diperselisihkan dalam satu madzhab. Kaidah-kaidah itu diaplikasikan dalam satu furu’ (cabang) fiqh tidak pada furu’ yg lain, dan diperselisihkan dalam furu’ satu madzhab.

Contoh, kaidah: Hal al-’Ibroh bi al-Hal aw bi al-Maal?/Apakah hukum yang dianggap itu pada waktu sekarang atau waktu nanti? Kaidah ini diperselisihkan pada madzhab Syafi’i. oleh karena itu pada umumnya diawali dengan kata :hal/ /apakah.

C. Kedudukan al-Qawaid al-Fiqhiyyah

Hal yang berhubungan dengan fikih sangat luas, mencakup berbagai hukum furu'. Karena luasnya, maka itu perlu ada kristalisasi berupa kaedah-kaedah umum (kulli) yang berfungsi sebagai klasifikasi masalah-masalah furu' menjadi beberapa kelompok.Dan tiap-tiap kelompok itu merupakan kumpulan dari masalah-masalah yang serupa. Hal ini akan memudahkan para mujtahid dalam meng-istinbat-kan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan masalah yang serupa dibawah lingkup satu kaedah.

Dalam pembahasannya, al-qawaid al-fiqhiyyah sering menggunakan sistematika atas dasar keabsahan kaedah, atas dasar abjad, atau berdasarkan sistematika fikih. Berdasarkan keabsahan kaedah, dibagi atas kaedah-kaedah asasiah dan kaidah-kaidah gairu asasiah. Jaih Mubarok membedakan kedudukan kaedah fikih menjadi dua, yaitu dalil pelengkap dan dalil mandiri. Yang dimaksud dengan dalil pelengkap adalah bahwa kaedah fikih digunakan sebagai dalil setelah menggunakan dua dalil pokok, yaitu Alquran dan sunnah. Sedangkan yang dimaksud dengan dalil mandiri adalah bahwa kaedah fikih digunakan sebagai dalil hukum yang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok.

Atas dasar kenyataan itu, kedudukan kaedah fikih dalam konteks studi fikih adalah simpul penyederhana dari masalah-masalah fikih yang begitu banyak. Untuk itu, al-Syaikh Ahmad Ibn al-Syaikh Muhammad al-Zarqa' berpendapat "kalau saja tidak ada kaedah fikih ini, hukum fikih yang bersifat furu'iyyat akan tetap bercerai-berai Abd al-Wahab Khallaf dalam kitab Ushul Figh-nya berkata bahwa nash-nash tasyri telah mensyariatkan hukum terhadap berbagai macam undang-undang, baik mengenai perdata, pidana, ekonomi dan undang-undang dasar telah sempurna dengan adanya nash-nash yang menetapkan prinsip-prinsip umum dan aturan-aturan tasyri' yang kulli yang tidak terbatas terhadap suatu cabang undang-undang.

Prinsip-prinsip umum dan aturan-aturan kulli tersebut memang dibuat sebagai petunjuk bagi mujtahid dalam menetapkan hukum dan menjadi pelita untuk mewujudkan keadilan dan kemaslahatan umat Karena Alquran hanya menerangkan dasar-dasar yang menjadi sendi-sendi hukum itulah maka tampak keluasan dan elastisitas hukum Islam.

Ungkapan Khallaf tersebut mengisyaratkan bahwa lapangan fikih begitu luas, karena mencakup berbagai hukum furu', karena itu perlu adanya kristalisasi berupa kaedah-kaedah kulli yang berfungsi sebagai klasifikasi masalah-masalah furu menjadi beberapa kelompok, dan tiap-tiap kelompok itu merupakan kumpulan dari masalah-masalah yang serupa. Dengan berpegang kepada kaedahkaedah fikih (al-qawaid al- fiqhiyyah), para mujtahid merasa lebih mudah dalam meng-istinbat-kan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan masalah serupa di bawah lingkup satu kaidah. Banyak fuqaha' yang menyebutkan:

 من راعي الأصول كان حنيناً بالوصول ومن راعي الموعد كان خليقاً بإدراك المقاصد

"barang siapa memelihara ushul, maka ia akan sampai pada maksud, dan barang siapa yang memelihara al-qawaid selayaknya ia mencapai maksud".

Ungkapan tersebut menghantarkan kepada kepada kesimpulan bahwa kaedah- kaedah itu menyingkapkan jalan-jalan yang ditempuh oleh para ahli fikih sehingga kita dapat mencontoh metode yang mereka tempuh. Andaikata kaedahkaedah itu tidak ada, tentulah hukum-hukum fikih merupakan cabang-cabang yang berserak-serak tanpa ikatan dasar yang mengarahkan dan membuka jalan bagi usaha mengadakan perbandingan.

Sebagai sebuah kemaslahatan yang hakiki, maka memelihara agama, jiwa, akal, harta dan keturunan hanya dapat ditemukan landasannya dalam Alquran dan hadis dengan nas-nasnya yang mu'tabarah atau kemaslahatan itu dinyatakan secara tegas oleh nas Alquran dan hadis. Mengungkap kemaslahatan yang terdapat dalam nas harus berpegang pada dua hal, yaitu; Pertama, berpegang pada petunjuk kebahasaan dan pemahaman kaidah bahasa Arab di mana teks tersebut memiliki hubungan langsung dengan Alquran dan sunnah. Kedua, berpegang pada petunjuk nabi dalam memahami hukum-hukum dari Alquan dan penjelasan sunnah atas hukum-hukum Al-qur’an itu.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Al-Qawaid al-Fiqhiyyah merupakan aturan atau patokan hukum Islam yang mencakup dasar-dasar fiqih yang bersifat umum dan ringkas.

2. Ruang lingkup al-Qawaid al-Fiqhiyyah terbagi menjadi empat bagian utama, yang mencakup kaidah-kaidah dasar yang disepakati oleh seluruh madzhab hingga kaidah-kaidah yang diperselisihkan dalam satu madzhab.

3. Kedudukan al-Qawaid al-Fiqhiyyah sangat penting dalam studi fikih karena menyederhanakan masalah-masalah fikih yang kompleks dan luas, membantu para mujtahid dalam menetapkan hukum bagi suatu masalah.

4. Kaedah-kaedah fikih digunakan sebagai panduan dalam menetapkan hukum, baik sebagai pelengkap setelah menggunakan Alquran dan Sunnah, maupun sebagai hukum yang berdiri sendiri.

5. Kesimpulan dari penjagaan al-Qawaid al-Fiqhiyyah adalah bahwa kaedah-kaedah ini menyingkapkan jalan-jalan yang ditempuh oleh para ahli fikih, memungkinkan kita untuk mencontoh metode yang mereka tempuh. Tanpa adanya kaedah-kaedah ini, hukum-hukum fikih akan tersebar tanpa ikatan dasar yang mengarahkan.

B. Saran

Tentunya pencipta telah memahami bahwa dalam penyusunan makalah di atas masih banyak terdapat kesalahan dan cukup cacat. Untuk selanjutnya penulis akan segera melakukan penyempurnaan pembuatan makalah dengan memanfaatkan kaidah dari beberapa sumber dan analisis yang membantu dari para pembaca.

8

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Muhammad Asy-Syafii, ushul fiqh al-Islami, iskandariyah muassasah tsaqofah al-Jamiiyah. 1983.

Hasbi as-siddiqy, Pengantar Hukum Islam, Jakarta: bulan bintang. 1975.

Asjmuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, Jakarta. Bulan bintang. 1976.

Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqih. Amzah: Jakarta. 1990.

http://www.slideshare.net/asnin_syafiuddin/01-02-pendahuluan oleh H. Asnin Syafiuddin, Lc. MA diposting pada tanggal 10 september 2012.

Mubarok, Jaih. Kaedah Fikih: Sejarah dan Kaidah Asasi. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002.

Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Usul Fikih, Cet. XII. Kuwait: Dar al-Qalam, 1987.

Rahman, Asjmuni A. Qoidah-Qoidah Fikih. Jakarta: Bulan Bintang, 1976.

Idrus, Achmad Musyahid. "Tradisi Penalaran Filosofis Dalam Hukum Islam." Al Daulah: Jurnal Hukum Pidana dan Ketatanegaraan 3.1 (2014): 45-65.

9


7.Pembentukan Kaidah Fiqih dalam Mazhab

 MAKALAH PEMBENTUKAN KAIDAH FIQIH DALAM MAZHAB Dosen pengampu: Prof. Dr. Achmad Musyahid, M.Ag DISUSUN OLEH: FAZA FAUZA KHARISMI HM (103001...