Selasa, 23 April 2024

4.Aspek Fikih Dalam Kaidah Hukum Islam

MAKALAH
ASPEK FIKIH DALAM KAIDAH HUKUM ISLAM



Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Kaidah Fikiyah Dosen pengampu: Prof. Dr. Achmad Musyahid, M.Ag


DISUSUN OLEH:
ANDIKA WAHYU SAPUTRA (10300122072)
MIFTAHUL JANNAH (10300122090)


PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2024

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Latar belakang masalah tentang aspek fikih dalam kaidah hukum Islam dapat bervariasi tergantung pada konteksnya. Namun, beberapa faktor yang mungkin menjadi latar belakang termasuk perubahan zaman yang memunculkan isu-isu baru, perbedaan pendapat di antara ulama tentang interpretasi hukum Islam, serta perubahan sosial dan budaya yang mempengaruhi cara pandang terhadap fikih dan hukum Islam secara umum.

Aspek fikih dalam kaidah hukum Islam meliputi kompleksitas perkembangan sosial, teknologi, dan ekonomi modern yang sering kali memunculkan pertanyaan baru tentang aplikasi hukum Islam dalam konteks kontemporer. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti bioteknologi dan keuangan global, menimbulkan dilema etis yang belum diatur secara eksplisit dalam fikih tradisional. Selain itu, perubahan sosial dan budaya yang cepat, seperti perubahan peran gender dan hubungan antarbudaya, menantang ulama untuk menafsirkan kembali prinsip-prinsip fikih dalam konteks yang berbeda.

Di samping itu, globalisasi juga membawa masalah baru dalam kaidah hukum Islam. Interaksi antarbudaya dan arus informasi yang bebas memperkenalkan individu Muslim pada pandangan dan praktik baru yang mungkin bertentangan dengan ajaran tradisional. Hal ini mendorong ulama untuk mengevaluasi kembali prinsip-prinsip fikih dalam menghadapi realitas global yang semakin terhubung ini.

Selain itu, perkembangan politik dan hukum di beberapa negara Muslim juga mempengaruhi latar belakang masalah fikih dalam kaidah hukum Islam. Sistem hukum yang berbeda-beda, baik yang berakar dari tradisi Islam atau hukum sekuler, sering kali memunculkan pertanyaan tentang interaksi antara hukum Islam dan hukum positif, serta bagaimana fikih dapat mengatasi tantangan-tantangan hukum modern.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan fikih?

2. Bagaimana aspek fikih dalam hukum Islam?

C. Tujuan 

1. Untuk mengetahui pengertian fikih.

2. Untuk mengetahui bagaimana dan pengaruh aspek fikih dalam kaidah hukum Islam.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Fikih

Menurut bahasa fikih berasal dari kata faqiyah-yafqahu-fiqhan yang berarti mengerti, faham akan sesuatu, sedangkan secara istilah fikih berarti ilmu yang mempelajari hukumhukum yang disyariatkan Allah Swt. Yang berkesinambungan dengan lisan dan perbuatan umat Islam yang bersumber dari dalil-dalil Al-Qur’an, As-sunnah dan Ijma’ (kesepakatan) dan ijtihad dari ulama Muslim. Fikih dalam Islam bertujuan untuk mencegah terjadinya kerusakan diantara kaum muslimin.

Fiqih memberikan pengertian kepemahaman dalam hukum syari’at yang sangat dianjurkan oleh Allah dan Rasulnya. Sedangkan orang yang ahli dalam ilmu fiqih itu sendiri disebut dengan faqih yang jamaknya disebut fuqoha. Menurutnya fiqih merupakan pengertian tentang hukum syari’at yang berhubungan dengan tingkah laku manusia. Jadi hakikat ilmu yang mempelajari tentang hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan pembuatan dan ucapan seseorang yang diambil dari dalil-dalil yang jelas, yaitu al-quran dan as-sunnah.

Fikih selalu berkaitan dengan syariah dan ushul fikih. Syariah merupakan hukumhukum yang terdapat dalam al-qur’an dan hadits. Ushul fikih adalah dasar pijakan bagi ilmu fikih dalam artian lain ushul fikih melahirkan fikih. Sedangkan fikih merupakan hasil pemahaman dan interpretasi para ahli atas peristiwa yang hukumnya tidak ditemukan dalam Al Quran dan Hadits. Syariah lahir terlebih dahulu dari fikih. Syariah ditentukan oleh Allah Swt, sedangkan fikih adalah hasil pemikiran manusia terhadap syariah. Syariah adalah landasan fikih, sedangkan fikih adalah pemahaman tentang syariah.

B. Aspek Fikih dalam Kaidah Hukum Islam

Fikih membahas hukum-hukum syara’ dari perbuatan seorang mukallaf. Berdasarkan sumber-sumber hukum Islam, fikih terdiri dari beberapa ruang lingkup yang membahas tentang hukum-hukum dalam kehidupan, sebagai berikut:

1. Fikih Ibadah

Hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah atau yang disebut juga dengan fiqh ibadah. Hukum ini membahas hal-hal seperti wudhu, shalat, puasa, haji dan

yang lainnya. Saklah satu contohnya adalah perintah melaksanakan shalat. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

 وَاَ قيِْمُواالصَّلٰوةَ وَاٰ توُاالزَّكٰوةَ وَ ا رْكَعوُْا مَعَ الرّٰكِعِيْنَ

"Dan laksanakanlah sholat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang yang rukuk." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 43)

Diceritakan dalam buku Kunci-Kunci Surga oleh Ahya A. Shobari, tentang Bani

Israil yang diperintahkan untuk mendirikan shalat dan menunaikan zakat oleh Allah SWT. Orang yang masuk Islam tidak hanya sekedar bersyahadat, tapi juga harus mengerjakan shalat dan zakat.

2. Fikih Muamalah

Hukum fiqh muamalah yakni hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dan hubungan diantara mereka, seperti jual beli, jaminan, sewa menyewa, pengadilan dan yang lainnya. Salah satu contoh sebagai berikut:

Dalam Islam dikenal berbagai macam akad (perikatan/ perjanjian) diantaranya adalah jual beli dan sewa menyewa. Sewa menyewa dalam bahasa arab diistilahkan dengan al-ijārah. Menurut pengertian hukum Islam sewa menyewa diartikan sebagai suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian. Allah swt. Berfirman dalam QS. Al Qashash/28: 26.

 قَا لتَْ اِحْدٰ ٮہُمَا يٰٰۤاَ بتَِ اسْتأَجِْرْه ُ ۖ اِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتـَأجَْرْتَ الْقوَِيُّ الَْْ مِيْنُ

"Dan salah seorang dari kedua (perempuan) itu berkata, "Wahai ayahku! Jadikanlah dia sebagai pekerja (pada kita), sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil sebagai pekerja (pada kita) ialah orang yang kuat dan dapat dipercaya."" (QS. Al-Qasas 28: Ayat 26)

3. Fiqh al-ahwal as-sakhsiyah

Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah kekeluargaan atau yang disebut jugadengan fiqh al-ahwal as-sakhsiyah. Hal yang dibahas dalam hukum ini meliputi pernikahan, talak, nasab, persusuan, nafkah, warisan dan yang lainnya. Salah satu contohnya adalah tentang menjaga kehamilan sebagai berikut:

Konsepsi perlindungan hukum Islam berlandaskan pada makna menjaga atau memelihara, dengan demikian perlindungan terhadap kehamilan seorang wanita menekankan pada aspek penjagaan dan pemeliharaan kehamilan tersebut. Konsepsi

perlindungan hukum Islam terhadap kehamilan adalah menekankan pada aspek penjagaan jiwa seorang wanita dengan memelihara kemaslahatan diri wanita ketiak ia hamil. Prinsip-prinsip perlindungan hukum Islam terhadap kehamilan seorang Wanita antara lain adalah prinsip perlindungan terhadap Jiwa/Hifzu al-Nafsi, perencanaan kehamilan dan prinsip perlindungan terhadap Kehormatan.

4. Fikih Siyasah

Hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban pemimpin (kepala negara) yang disebut juga dengan fiqh siyasah syar’iah. Hukum ini membahas hal-hal yang berkaitan dengan penegakkan keadilan, penerapan hukum-hukum syari’at.

Salah satu aspek fikih yang dirumuskan oleh ulama fikih adalah kaidah fikih yang mengatur tentang kebijakan seorang pemimpin negara dan pemimpin masyarakat. Dalam salah satu karya tulis Prof. Dr. Achmad Musyahid, M.Ag. menyebutkan ada lima hal penting yang menjadi tolok ukur kemaslahatan yang harus direalisasikan oleh seorang pemimpin tersebut, yaitu melindungi dan menjaga kemaslahatan agama dalam sebuh negara, melindungi dan menjaga kemaslahatan jiwa setiap warga negara, melindungi dan menjaga kemaslahatan akal manusia dari berbagai kerusakan, melindungi dan menjaga keturunan dari kepunahan serta melindungi dan menjaga harta manusia dari kerusakan.

Abd al-Karīm Zaidān dalam pernyataannya menekankan pada tiga hal pokok yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin, yaitu: 1) Melayani orang-orang yang berada di bawah kepemimpinannya. 2) Menegakkan keadilan. 3) Merealisasikan kemaslahatan untuk manusia.5

5. Fikih Jinayah

Hukum-hukum yang berkaitan dengan hukuman terhadap pelaku-pelaku kejahatan,serta penjagaan keamanan dan ketertiban yang disebut juga dengan fiqh jinayah. Salah satu contohnya sebagai berikut: Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman di dalam surah An-Nur: 24/2.

الَزَّا نيَِةُ وَا لزَّا نِيْ فَا جْلِدوُْا كُلَّ وَا حِدٍ مِنْهُمَا مِائةََ جَلْدةٍَ ۖ وَّلَْ تأَخُْذكُْمْ بهِِمَا رَأْفَةٌ فِيْ دِيْنِ اللِّّٰٰ اِنْ كُنْتمُْ تؤُْمِنوُْنَ بِا للِّّٰٰ وَا لْيَوْمِ الْْٰ خِرِ ۖ وَلْيشَْ هَدْ عَذاَ بهَُمَا طَائٓفَِةٌ مِنَ الْمُؤْمِنيِْنَ

"Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari Kemudian; dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang yang beriman." (QS. An-Nur 24: Ayat 2).

Ayat tersebut menerangkan bahwa orang-orang Islam yang berzina, baik perempuan mapun laki-laki yang sudah akil baligh, merdeka dan tidak muhsan, wajib didera seratus kali dera, sebagaihukuman atas dosa dan maksiat yang telah diperbuatnya. Bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir tidak dibenarkan bahkan dilarang menaruh belas kasihan kepada pelanggaran-pelanggaran hukum itu untuk menjalankan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan dalam agama Allah.

6.Hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlak dan prilaku, yang baik maupun yang buruk. Hukum ini disebut dengan adab dan akhlak.


BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan

Menurut bahasa fikih berasal dari kata faqiyah-yafqahu-fiqhan yang berarti mengerti, faham akan sesuatu, sedangkan secara istilah fikih berarti ilmu yang mempelajari hukumhukum yang disyariatkan Allah Swt. Yang berkesinambungan dengan lisan dan perbuatan umat Islam yang bersumber dari dalil-dalil Al-Qur’an, As-sunnah dan Ijma’ (kesepakatan) dan ijtihad dari ulama Muslim. Fikih dalam Islam bertujuan untuk mencegah terjadinya kerusakan diantara kaum muslimin.

Fiqh secara bahasa memiliki arti paham, sedangkan secara istilah fiqh berarti ilmuyang mempelajari hukum-hukum yang disyariatkan Allah Swt yang berkesinambungan dengan lisan dan perbuatan umat Islam yang bersumber dari dalil-dalil

Al-qur’an, As-sunnah, ijma’ (kesepakatan) dan ijtihad dari ulama muslim. Adapun tujuan dari fiqhdalam Islam ialah untuk mencegah terjadinya kerusakan diantara kaum muslimin.Berdasarkan sumber-sumber hukumIslam, diperoleh tujuh kitab yang membahas hukum-hukum dalam kehidupan sebagai berikut:

1. Hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah atau yang disebut juga dengan fiqh ibadah. Hukum ini membahas hal-hal seperti wudhu, shalat, puasa, hajidan yang lainnya.

2. Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah kekeluargaan atau yang disebut jugadengan fiqh al-ahwal as-sakhsiyah. Hal yang dibahas dalam hukum ini meliputi pernikahan, talak, nasab, persusuan, nafkah, warisan dan yang lainnya.

3. Hukum fiqh muamalah yakni hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia danhubungan diantara mereka, seperti jual beli, jaminan, sewa menyewa, pengadilandan yang lainnya.

4. Hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban pemimpin (kepalanegara) yang disebut juga dengan fiqhsiasah syar’iah. Hukum ini membahas hal-halyang berkaitan dengan penegakkan keadilan, penerapan hukum-hukum syari’at.

5. Hukum-hukum yang berkaitan dengan hukuman terhadap pelaku-pelaku kejahatan,serta penjagaan keamanan dan ketertiban yang disebut juga dengan fiqhal-ukubat.

6. Hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlak dan prilaku, yang baik maupun yang buruk. Hukum ini disebut dengan adab dan akhlak

B. Saran

Dalam makalah ini masih banyak kekurangan dan kekhilafan, oleh karena itu pemakalah mengharapkan kritik dan saran terutama dari dosen pengampu demi kesempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Wahyuddin. “Hubungan Ilmu Fiqih Dengan Ilmu Pengetahuan Lainnya.” Jurnal Pendidikan Kreatif 2, no. 2 (2021): 57–68. https://doi.org/10.24252/jpk.v2i2.31611.

Idrus, Achmad Musyahid. “Kebijakan Pemimpin Negara Dalam Perspektif Kaidah Fikih : Tasarruf Al-Imam Manutun Bil Maslahah.” Al Daulah : Jurnal Hukum Pidana Dan Ketatanegaraan 1, no. 1 (2021): 123. https://doi.org/10.24252/ad.v1i1.26278.

Ismail, Hajar. “Iain Palopo.” Core.Ac.Uk, 2019.

https://core.ac.uk/download/pdf/198238758.pdf.

“Perlindungan Hukum Terhadap Kehamilan Istri ( Perspektif Hukum Keluarga Islam ) Legal

Protectionagainst Wife Pregnancy ( Islamic Family Law Perspective ) Achmad Musyahid Idrus UIN Alauddin Makassar Email : Ahmadmusyahid123@gmail.Com Info Artikel Abstract ,” 2020, 1–16.

Qayyuum Nugraha, Aliyyul, Hamzah Hasan, and Achmad Musyahid. “Telaah Pasal 412 Tindak Pidana Perzinaan Perspektif Hukum Pidana Islam” 8 (2024): 8298–8310.


Senin, 22 April 2024

3.Aspek Syariah Dalam Hukum Islam

MAKALAH ASPEK SYARIAH DALAM HUKUM ISLAM

Dosen Pengampu: Prof. Dr. Achmad Musyahid, M.Ag.



Disusun Oleh :

Muh. Iqbal (10300122073)

Muh. Athallah (10300122075)

St.Nur Aisyah ( 10300122082)


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUUM
PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
T/A 2023-2024


ABSTRAK

Materi ini membahas tentang memahami Aspek syariah, Syariat merupakan jalan hidup muslim, Serta ketetapan-ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya. Telah disepakati para ulama bahwa al-Qur’an adalah sumber hukum utama bagi umat Islam, berikutnya adalah hadits/sunnah, dan ijma’. Al-Qur’an merupakan sebuah keseluruhan dari semua aturan dalam situasi dan kondisi apapun bagi umat manusia. Seluruh aspek kehidupan manusia ada di dalamnya. Muhammad SAW. sebagai seorang rasul dan pemegang mukzijat al-Qur’an diberi keistimewaan untuk menjelaskan secara rinci hal-hal yang masih bersifat umum di dalam al-Qur’an. syari’ah identik dengan agama. Hal ini sejalan dengan firman Allah dengan surah al-Maidah: 48 dan al-Jasiyah: 18.8 Walaupun pada awalnya syari’ah diartikan dengan agama.

Kemudian ia dikhususkan untuk hukum amaliyah. Pengkhususan ini untuk membedakan antara agama dan syari’ah, karena pada hakekatnya agama itu satu dan berlaku secara universal. Sedangkan syariah berbeda antara satu umat dengan umat lainnya. Qotadah, menurut yang diriwayatkan oleh Thabari, mengkhususkan lagi pemakaian syari’ah untuk hal-hal yang menyangkut kewajiban, sanksi hukum, perintah dan larangan. Dalam perkembangan selanjutnya kata syari’ah digunakan untuk menunjukkan hukum-hukum Islam, baik yang ditetapkan langsung oleh al-Qur’an dan Sunnah, maupun yang telah dicampuri oleh pemikiran manusia (ijtihad).

PEMBAHASAN


1. PENGERTIAN SYARIAH

Menurutkan akar katanya عرش yang berarti jalan menuju sumber air. Menurut istilah Syariah adalah Hukum yang diatur oleh Allah SWT, untuk hambanya melalui lisan para Rasul. Para Rasul menyampaikan kepada umatnya untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Baik berbentuk aqidah, hukum, akhlak, muamalah dan sebagainya, secara singkat dapat dikatakan bahwa syariah Islam adalah keseluruhan ajaran Islam yang bersumber dari wahyu Allah SWT.

Dalam wacana keislaman, kata syari’ah (atau syariat) memang memiliki makna dan signifikansi yang penting, karena secara eksplisit tercantum dalam al- Qur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW, dua sumber utama ajaran Islam.1 Dan dapat dilihat dari segi ilmu hukum, syariat merupakan norma hukum dasar yang ditetapkan Allah, yang wajib diikuti oleh orang Islam bedasarkan iman yang berkaitan dengan akhlak, baik dalam hubungannya dengan Allah maupun dengan sesama manusia dan benda dalam masyarakat. Norma hukum dasar ini dijelaskan dan atau dirinci lebih lanjut oleh Nabi Muhammad saw. sebagai Rasul-Nya. Karena itu, syariat terdapat di dalam al-Qur’an dan di dalam kitab-kitab Hadist.2

2. SUMBER-SUMBER SYARIAH

-Al-Qur’an

Al-Qur’an diturunkan menjadi pegangan bagi mereka yang ingin mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Tidak diturunkan untuk satu umat dalam satu abad saja, tetapi untuk seluruh umat dan untuk sepanjang masa, karena itu luas ajaran-ajarannya adalah melingkupi seluruh umat manusia. Al-Qur’an dijadikan sumber hukum Islam mengindikasikan bahwa agama Islam menghendaki agar sifat-sifat yang termaktub dalam ajaran dan kenetuan yang mengatur perilaku manusia dalam al-Qur’an diterapkan dalam waktu dan kondisi yang tepat. Misalnya dikehendaki keutamaan sifat pemaaf, tetapi juga diwaktu tertentu dikehendaki pula ketentuan hukum dilaksanakan dengan tegas.Al-Qur’an menghendaki manusia agar selalu berbuat baik, sekalipun terhadap orang yang pernah berbuat jahat kepadanya. Al-Qur’an mengajarkan manusia untuk tetap

1 B A B Ii, ‘No Title’, November, 2020.

2 Nurhayati Nurhayati, ‘Memahami Konsep Syariah, Fikih, Hukum Dan Ushul Fikih’, Jurnal Hukum Ekonomi Syariah, 2.2 (2018), 124–34 <https://doi.org/10.26618/j-hes.v2i2.1620>.

suci, tetapi tidak dikebiri. Manusia harus berbakti kepada Allah ta‟ala, tetapi tidaklah menjadi rahib atau pertapa. Manuasia harus berendah hati, tetapi jangan melupakan harga diri. manusia dapat menggunakan hak-haknya tanpa mengganggu hak-hak orang lain. Manusia diwajibkan mendakwahkan agama dengan jalan hikmah dan kebijaksanaan.

-Hadist

Hadits atau Sunnah merupakan sumber hukum Islam kedua memiliki peranan yang penting setelah al-Qur’an. Hadits merinci keumuman paparan ayat- ayat al-Qur’an, karena al-Qur’an sebagai kitab suci dan pedoman hidup umat Islam diturunkan pada umumnya dalam kata-kata yang perlu dirinci dan dijelaskan lebih lanjut, agar dapat dipahami dan diamalkan. Yang dimana Hadits juga berfungsi antara lain menjadi penjelas terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang belum jelas atau menjadi penentu hukum yang tidak ada dalam al-Qur’an.

-Ijtihad

Ijtihad secara bahasa berasal dari kata al-jahd dan al-juhd yang berarti kemampuan, potensi dan kesanggupan. Dalam Lisân al-'Arab dikatakan bahwa al-juhd berarti menggunakan dan memaksimalkan kemampuan seseorang untuk mencapai sesuatu. Wazn ifti'âl menunjukkan arti dari akar kata muballaghah (berlebihan). Dalam hal ini ijtihad lebih bermakna mubalaghat (menggunakan kemampuan) dibandingkan arti kata jahada (mampu). Berdasarkan pengertian tersebut, ijtihad menurut bahasanya berarti mengeluarkan segala daya upaya dan memeras seluruh kemampuan untuk sampai pada suatu hal dari berbagai hal yang masing-masing mengandung akibat kesulitan dan keberatan (masyaqqah).3

-Ijma

Sebagai Sumber Hukum yang merupakan suatu keharusan ketaatan bagi umat Islam terhadap hasil Ijma’ ulama pada suatu masalah, dan hukumnya wajib taat. Hukum dalam permasalahan yang telah diputuskan dalam ijma’ tersebut memiliki nilai qath‟iy tidak dapat dihapus ataupun ditentang oleh hasil ijtihad contohnya, sebab kesepakatan pendapat dari para mujtahid dalam ijma’ itu sudah menunjukkan kebenaran yang sesuai dengan jiwa Syari’ah dan dasar-dasar yang umum. Sudah menjadi kesepakatan ulama bahwa hasil ijtihad juga sebagai sumber hukum. Hasil ijtihad para ulama bisa dijadikan rujukan untuk menetapkan

3 Pengantar Hukum Islam, No Title.

keputusan hukum, sehingga dalam Islam hasil ijtihad menjadi salah satu sumber hukum.4

-Qiyas

Qiyas merupakan suatu cara penggunaan ra’yu untuk menggali hukum syara”dalam hal-hal yang nash al-Qur’an dan sunnah tidak menetapkan hukumnya secara jelas. meskipun qiyas tidak menggunakan nash secara langsung, tetapi karena merujuk kepada nash, maka dapat dikatakan bahwa qiyas juga menggunakan nash walaupun tidak secara langsung.Mayoritas ulama Syafi’iyyah mendefinisikan qiyas dengan”Membawa (hukum) yang (belum) diketahui kepada (hukum) yang diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya, baik hukum maupun sifat.5

3. ASPEK SYARIAH

Adapun aspek pokok dalam ajaran agama islam 1.Aspek Keyakinan (Aqidah)

Aqidah adalah bentuk dari kata “aqada, ya’qidu, ‟aqdan-aqidatan” yang berarti simpulan, ikatan, sangkutan, dan perjanjian.Aqidah merupakan akar bagi setiap perbuatan manusia. Aqidah juga bisa diibaratkan bagaikan suatu bangunan, aqidah adalah pondasinya dari sebuah bangunan yang harus kokoh dan kuat agar bangunan tidak condong apalagi roboh, sedangkan ajaran Islam yang lain, seperti ibadah dan akhlaq, adalah sesuatu yang dibangun di atasnya. Rumah yang dibangun tanpa pondasi adalah suatu bangunan yang sangat rapuh.

Secara umum, aqidah dalam Islam berarti perjanjian teguh manusia dengan Allah yang berisi tentang kesediaan manusia untuk tunduk dan patuh secara sukarela tanpa keraguraguan pada kehendak Allah. Yang dimana mengandung enam dasar perjanjian, yaitu: keyakinan hati bahwa tiada Tuhan selain Allah, keyakinan hati bahwa ada hal yang ghaib seperti malaikat, keyakinan hati bahwa ada manusia yang diberi amanah kerasulan oleh Allah, keyakinan hati bahwa ada

4 Muannif Ridwan, M Hasbi Umar, and Abdul Ghafar, ‘SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM DAN IMPLEMENTASINYA (Kajian Deskriptif Kualitatif Tentang Al-Qur’an, Sunnah, Dan Ijma’)’, Borneo: Journal of Islamic Studies, 1.2 (2021), 28–41.

5 Edy Muslimin, ‘Qiyas Sebagai Sumber Hukum Islam’, Mamba’ul ’Ulum, 15.2 (2019), 77–87

<https://doi.org/10.54090/mu.25>.

pertanggungjawaban amal perbuatan setelah kematian, dan keyakinan hati bahwa ada aturan pasti yang melandasi kehidupan ini yang dibuat Allah.6

2. Aspek Norma atau Hukum (Syariah)

Aspek ini mengatur hubungan manusia dengan Allah (hablum-minallah), sesama manusia (hablum-minannas), dan hubungan manusia dengan alam semesta(hablum-minal alami). Pada dasarnya syariah berarti gaya hidup yang ditentukan oleh Allah SWT. panduan hidup di dunia dan diakhirat.panduan ini hidup di dunia dan di khirat. yang dimana panduan yang bersangkutan adalah sumber hukum Islam yang bersumber dari Al-Quran, Sunnah maupun Ijtihad para ulama.

Aspek Syariah juga mencakup hukum ibadah, muamalah dalam arti pertukaran, munakahat dalam hubungan keluarga, siyasah dalam konteks masyarakat, jinayat yang mencakup kejahatan.7

3. Aspek Perilaku (Akhlak)

Menurut istilah etimology (bahasa) perkataan akhlak berasal dari bahasa Arab yaitu, اخلق yang mengandung arti “budi pekerti, tingkah laku, dan tabiat”. Sedangkan secara terminologi (istilah), makna akhlak adalah suatu sifat yang melekat dalam jiwa dan menjadi kepribadian, dari situlah memunculkan perilaku yang spontan, mudah, tanpa memerlukan pertimbangan.

Akhlak tidak memiliki pembatasnya, ia melingkupi dan mencakup semua kegiatan, usaha, dan upaya manusia, yaitu dengan nilai-nilai perbuatan. Dalam perspektif Islam, akhlak itu komprehensif dan holistik, dimana dan kapan saja mesti berakhlak. Oleh sebab itulah merupakan tingkah laku manusia dan tidak akan pernah berpisah dengan aktivitas manusia. Jadi, ruang lingkup akhlak Islam adalah seluas kehidupan manusia itu sendiri yang mesti diaplikasikan fi kulli al- makan wa fi kulli al zaman. Akhlak Islam meliputi:

1). Hubungan manusia dengan Allah sebagai penciptanya

2.) Akhlak terhadap sesama manusia

3.) Akhlak terhadap lingkungan.8


6 M.Ag Dr. H Khairil Anwar, ‘POKOK POKOK AJARAN ISLAM Penulis’, 2021, 1–77.

7 Departemen Pendidikan Nasional DPN, ‘Kamus Besar Bahasa Indonesia’, 2 (2008), 500.

8 Al- Ghazali, ‘Teori Akhlak’, Ihya’ Ulumuddin, Juz 3, (Qahirah:Isa Al-Bab Al-Halabi, Tt), 2008, 52.

KESIMPULAN


Syariah adalah Hukum yang diatur oleh Allah SWT, untuk hambanya melalui lisan para Rasul. Para Rasul menyampaikan kepada umatnya untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Baik berbentuk aqidah, hukum, akhlak, muamalah dan sebagainya, secara singkat dapat dikatakan bahwa syariah Islam adalah keseluruhan ajaran Islam yang bersumber dari wahyu Allah SWT. Yang dimana memiliki sumber hukum diantaranya, Al-Qur’an, hadist, ijtihad, ijma, dan qiyas. Serta memiliki tiga aspek, yang pertama aspek keyakinan atau akidah, kedua aspek norma atau hukum, dan yang terakhir aspek perilaku atau akhlak.


DAFTAR PUSTAKA

DPN, Departemen Pendidikan Nasional, ‘Kamus Besar Bahasa Indonesia’, 2 (2008), 500

Dr. H Khairil Anwar, M.Ag, ‘POKOK POKOK AJARAN ISLAM Penulis’, 2021, 1–77

Ghazali, Al-, ‘Teori Akhlak’, Ihya’ Ulumuddin, Juz 3, (Qahirah:Isa Al-Bab Al- Halabi, Tt), 2008, 52

Ii, B A B, ‘No Title’, November, 2020 Islam, Pengantar Hukum, No Title

Muslimin, Edy, ‘Qiyas Sebagai Sumber Hukum Islam’, Mamba’ul ’Ulum, 15.2 (2019), 77–87 <https://doi.org/10.54090/mu.25>

Nurhayati, Nurhayati, ‘Memahami Konsep Syariah, Fikih, Hukum Dan Ushul Fikih’, Jurnal Hukum Ekonomi Syariah, 2.2 (2018), 124–34

<https://doi.org/10.26618/j-hes.v2i2.1620>

Ridwan, Muannif, M Hasbi Umar, and Abdul Ghafar, ‘SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM DAN IMPLEMENTASINYA (Kajian Deskriptif Kualitatif Tentang Al-Qur’an, Sunnah, Dan Ijma’)’, Borneo: Journal of Islamic Studies, 1.2 (2021), 28–41


2. Kaidah Hukum Islam

MAKALAH
KAIDAH HUKUM ISLAM

Dosen Pengampu: Prof. Dr. Achmad Musyahid, M.Ag.


Disusun Oleh:
Hardianti.S (10300122096)
Keisya Haliza (10300122100)

PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
ALAUDDIN MAKASSAR
2024

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan Rahmat, Hidayah dan Inayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Tanpa bantuannya, kami mungkin tidak akan memiliki pilihan untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik.

Makalah kami diakumulasikan berdasarkan permintaan atau tugas yang diberikan oleh dosen kami. Selain itu, kami menyusun makalah ini dengan harapan makalah ini dapat bermanfaat dan menambah pemahaman bagi para pembacanya, dan bagi kami kelompok penyusunnya secara khusus. Makalah yang berjudul “Kaidah Hukum Islam” ini dikumpulkan berdasarkan data dan informasi dari berbagai sumber.

Afirmasi kami ingat untuk berbagi dengan orang-orang yang telah membantu dan mendukung selama waktu yang dihabiskan untuk menyiapkan makalah ini. Saya memahami bahwa makalah ini jelas memiliki kekurangan walaupun harus diperbaiki, oleh karena itu kami mengharapkan analisis dan ideide yang bermanfaat dari para pembaca. kami selaku penulis mohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini terdapat kesalahan penyusunan atau blunder yang berbeda-beda. Idealnya makalah ini dapat memberikan manfaat dan menambah informasi bagi para pembacanya.


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengertian dan ruang lingkup al-Qawaid al-Fiqhiyyah (kaidah-kaidah hukum Islam) menjadi penting dalam konteks fikih karena mencakup berbagai hukum furu' yang sangat luas. Dalam pemahaman ini, qawaid (kaidah) merujuk pada aturan atau patokan, sementara fiqhiyah merujuk pada ilmu yang menerangkan hukum syariah yang amaliyah. Dengan demikian, al-Qawaid al-Fiqhiyyah adalah dasar-dasar fiqih yang bersifat umum dan menyeluruh, berisi hukum-hukum syara’ yang umum terhadap berbagai peristiwa hukum.

Ruang lingkup al-Qawaid al-Fiqhiyyah meliputi empat bagian utama, yaitu al-Asasiyyah al-Kubra, al-Kulliyyah, al-Madzhabiyyah, dan al-Mukhtalaf fiha fi al-Madzhab al-Wahid. Setiap bagian memiliki peran dalam memahami dan mengklasifikasikan masalah-masalah fikih yang beragam, memudahkan para mujtahid dalam meng-istinbat-kan hukum bagi suatu masalah dengan menggolongkan masalah serupa di bawah lingkup satu kaidah.

Kedudukan al-Qawaid al-Fiqhiyyah dalam studi fikih adalah penting karena merupakan simpul penyederhana dari masalah-masalah fikih yang begitu banyak. Kaedah-kaedah ini digunakan sebagai panduan bagi mujtahid dalam menetapkan hukum, baik sebagai dalil pelengkap setelah menggunakan Alquran dan Sunnah, maupun sebagai dalil mandiri yang berdiri sendiri. Tanpa adanya kaedah-kaedah ini, hukum fikih akan tersebar tanpa ikatan dasar yang mengarahkan, sehingga kaedah-kaedah ini membuka jalan bagi usaha mengadakan perbandingan dan memelihara konsistensi hukum Islam.

B. Rumusan Masalah

1. Jelaskan pengertian kaidah kaidah hukum islam (al-qawā‘id alfiqhiyyah)?

2. Jelaskan ruang lingkup al-qawaid al-fiqhiyyah?

3. Jelaskan kedudukan al-qawaid al-fiqhiyyah?

1

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pengertian kaidah kaidah hukum islam (al-qawā‘id alfiqhiyyah).

2. Untuk mengetahui ruang lingkup al-qawaid al-fiqhiyyah.

3. Untuk mengetahui kedudukan al-qawaid al-fiqhiyyah.

  

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kaidah Kaidah Hukum Islam (al-Qawā‘id al-Fiqhiyyah)

Dalam pengertian ini ada dua terminologi yang perlu kami jelaskan terlebih dahulu, yaitu qawaid dan fiqhiyah. Kata qawaid merupakan bentuk jama' dari kata qaidah, dalam istilah bahasa Indonesia dikenal dengan kata 'kaidah' yang berarti aturan atau patokan, dalam tinjauan terminologi kaidah mempuyai beberapa arti.

Dr. Ahmad asy-Syafi'I menyatakan bahwa kaidah adalah:

 القضايا الكلية التى يندرج تحت كل واحدة منها حكم جزئيات كثيرة

"Hukum yang bersifat universal (kulli) yang diikuti oleh satuan-satuan hukum juz'i yang banyak"

Sedangkan secara terminologi fiqh berarti, menurut al-Jurjani al-Hanafi:

العلم بالاحكام الشريعة العملية من ادلتها التفصلية وهو علم مستنبط بالرأي والاجتهاد ويحتاج فيه الى النظر

 والتأمل

”ilmu yang menerangkan hukum hukum syara yang amaliyah ang diambil dari dalil-dalilnya yang tafsily dan diistinbatkan melalui ijtihad yang memerlukan analisa dan perenungan".

Dari uraian pengertian diatas baik mengenai qawaid maupun fiqhiyah maka yang dimaksud dengan qawaid fiqhiyah adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Tajjudin as-Subki:

 الامر الكلى الذى ينطبق على جزئيات كثيرة تفهم احكامها منها

"Suatu perkara kulli yang bersesuaian dengan juziyah yang yang banyak yang dari padanya diketahui hukum-hukum juziyat itu".

Menurut Musthafa az-Zarqa, Qowaidul Fiqhyah ialah : dasar-dasar fiqih yang bersifat umum dan bersifat ringkas berbentuk undang-undang yang berisi hukum-

3

hukum syara’ yang umum terhadap berbagai peristiwa hukum yang termasuk dalam ruang lingkup kaidah tersebut.

B. Ruang lingkup al-Qawaid al-Fiqhiyyah

Menurut M. az-Zuhayliy dalam kitabnya al-Qawa’id al-fiqhiyyah berdasarkan cakupannya yg luas terhadap cabang dan permasalahan fiqh, serta berdasarkan disepakati atau diperselisihkannya qawa’id fiqhiyyah tersebut oleh madzhabmadzhab atau satu madzhab tertentu, terbagi pada 4 bagian, yaitu:

1. Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Asasiyyah al- Kubra, yaitu qaidah-qaidah fiqh yangg bersifat dasar dan mencakup berbagai bab dan permasalahan fiqh. Qaidah-qaidah ini disepakati oleh seluruh madzhab. Yang termasuk kategori ini adalah:

a. Al-Umuru bi maqashidiha.

b. Al-Yaqinu la Yuzalu bi asy-Syakk.

c. Al-Masyaqqatu Tajlib at- Taysir.

d. Adh-Dhararu Yuzal,

e. Al- ’Adatu Muhakkamah.

2. Al-Qawa’id al-Kulliyyah : yaitu qawa’id yang menyeluruh yang diterima oleh madzhab-madzhab, tetapi cabang-cabang dan cakupannya lebih sedikit dari pada qawa’id yang lalu. Seperti kaidah: al-Kharaju bi adhdhaman/Hak mendapatkan hasil disebabkan oleh keharusan menanggung kerugian, dan kaidah: adh-Dharar al- Asyaddu yudfa’ bi adh-Dharar alAkhaf Bahaya yang lebih besar dihadapi dengan bahaya yang lebih ringan. Banyak kaidah- kaidah ini masuk pada kaidah yang 5, atau masuk di bawah kaidah yg lebih umum.

3. Al-Qawa’id al-Madzhabiyyah (Kaidah Madzhab), yaitu kaidah-kaidah yang menyeluruh pada sebagian madzhab, tidak pada madzhab yang lain.

Kaidah ini terbagi pada 2 bagian:

a. Kaidah yang ditetapkan dan disepakati pada satu madzhab.

b. Kaidah yang diperselisihkan pada satu madzhab.

Contoh, kaidah: ar-Rukhash la Tunathu bi al- Ma’ashiy Dispensasi tidak didapatkan karena maksiat. Kaidah ini masyhur di kalangan madzhab

Syafi’i dan Hanbali, tidak di kalangan mazhab Hanafi, dan dirinci di kalangan madzhab Maliki.

4. Al-Qawa’id al-Mukhtalaf fiha fi al-Madzhab al-Wahid, yaitu kaidah yang diperselisihkan dalam satu madzhab. Kaidah-kaidah itu diaplikasikan dalam satu furu’ (cabang) fiqh tidak pada furu’ yg lain, dan diperselisihkan dalam furu’ satu madzhab.

Contoh, kaidah: Hal al-’Ibroh bi al-Hal aw bi al-Maal?/Apakah hukum yang dianggap itu pada waktu sekarang atau waktu nanti? Kaidah ini diperselisihkan pada madzhab Syafi’i. oleh karena itu pada umumnya diawali dengan kata :hal/ /apakah.

C. Kedudukan al-Qawaid al-Fiqhiyyah

Hal yang berhubungan dengan fikih sangat luas, mencakup berbagai hukum furu'. Karena luasnya, maka itu perlu ada kristalisasi berupa kaedah-kaedah umum (kulli) yang berfungsi sebagai klasifikasi masalah-masalah furu' menjadi beberapa kelompok.Dan tiap-tiap kelompok itu merupakan kumpulan dari masalah-masalah yang serupa. Hal ini akan memudahkan para mujtahid dalam meng-istinbat-kan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan masalah yang serupa dibawah lingkup satu kaedah.

Dalam pembahasannya, al-qawaid al-fiqhiyyah sering menggunakan sistematika atas dasar keabsahan kaedah, atas dasar abjad, atau berdasarkan sistematika fikih. Berdasarkan keabsahan kaedah, dibagi atas kaedah-kaedah asasiah dan kaidah-kaidah gairu asasiah. Jaih Mubarok membedakan kedudukan kaedah fikih menjadi dua, yaitu dalil pelengkap dan dalil mandiri. Yang dimaksud dengan dalil pelengkap adalah bahwa kaedah fikih digunakan sebagai dalil setelah menggunakan dua dalil pokok, yaitu Alquran dan sunnah. Sedangkan yang dimaksud dengan dalil mandiri adalah bahwa kaedah fikih digunakan sebagai dalil hukum yang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok.

Atas dasar kenyataan itu, kedudukan kaedah fikih dalam konteks studi fikih adalah simpul penyederhana dari masalah-masalah fikih yang begitu banyak. Untuk itu, al-Syaikh Ahmad Ibn al-Syaikh Muhammad al-Zarqa' berpendapat "kalau saja tidak ada kaedah fikih ini, hukum fikih yang bersifat furu'iyyat akan tetap bercerai-berai Abd al-Wahab Khallaf dalam kitab Ushul Figh-nya berkata bahwa nash-nash tasyri telah mensyariatkan hukum terhadap berbagai macam undang-undang, baik mengenai perdata, pidana, ekonomi dan undang-undang dasar telah sempurna dengan adanya nash-nash yang menetapkan prinsip-prinsip umum dan aturan-aturan tasyri' yang kulli yang tidak terbatas terhadap suatu cabang undang-undang.

Prinsip-prinsip umum dan aturan-aturan kulli tersebut memang dibuat sebagai petunjuk bagi mujtahid dalam menetapkan hukum dan menjadi pelita untuk mewujudkan keadilan dan kemaslahatan umat Karena Alquran hanya menerangkan dasar-dasar yang menjadi sendi-sendi hukum itulah maka tampak keluasan dan elastisitas hukum Islam.

Ungkapan Khallaf tersebut mengisyaratkan bahwa lapangan fikih begitu luas, karena mencakup berbagai hukum furu', karena itu perlu adanya kristalisasi berupa kaedah-kaedah kulli yang berfungsi sebagai klasifikasi masalah-masalah furu menjadi beberapa kelompok, dan tiap-tiap kelompok itu merupakan kumpulan dari masalah-masalah yang serupa. Dengan berpegang kepada kaedahkaedah fikih (al-qawaid al- fiqhiyyah), para mujtahid merasa lebih mudah dalam meng-istinbat-kan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan masalah serupa di bawah lingkup satu kaidah. Banyak fuqaha' yang menyebutkan:

 من راعي الأصول كان حنيناً بالوصول ومن راعي الموعد كان خليقاً بإدراك المقاصد

"barang siapa memelihara ushul, maka ia akan sampai pada maksud, dan barang siapa yang memelihara al-qawaid selayaknya ia mencapai maksud".

Ungkapan tersebut menghantarkan kepada kepada kesimpulan bahwa kaedah- kaedah itu menyingkapkan jalan-jalan yang ditempuh oleh para ahli fikih sehingga kita dapat mencontoh metode yang mereka tempuh. Andaikata kaedahkaedah itu tidak ada, tentulah hukum-hukum fikih merupakan cabang-cabang yang berserak-serak tanpa ikatan dasar yang mengarahkan dan membuka jalan bagi usaha mengadakan perbandingan.

Sebagai sebuah kemaslahatan yang hakiki, maka memelihara agama, jiwa, akal, harta dan keturunan hanya dapat ditemukan landasannya dalam Alquran dan hadis dengan nas-nasnya yang mu'tabarah atau kemaslahatan itu dinyatakan secara tegas oleh nas Alquran dan hadis. Mengungkap kemaslahatan yang terdapat dalam nas harus berpegang pada dua hal, yaitu; Pertama, berpegang pada petunjuk kebahasaan dan pemahaman kaidah bahasa Arab di mana teks tersebut memiliki hubungan langsung dengan Alquran dan sunnah. Kedua, berpegang pada petunjuk nabi dalam memahami hukum-hukum dari Alquan dan penjelasan sunnah atas hukum-hukum Al-qur’an itu.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Al-Qawaid al-Fiqhiyyah merupakan aturan atau patokan hukum Islam yang mencakup dasar-dasar fiqih yang bersifat umum dan ringkas.

2. Ruang lingkup al-Qawaid al-Fiqhiyyah terbagi menjadi empat bagian utama, yang mencakup kaidah-kaidah dasar yang disepakati oleh seluruh madzhab hingga kaidah-kaidah yang diperselisihkan dalam satu madzhab.

3. Kedudukan al-Qawaid al-Fiqhiyyah sangat penting dalam studi fikih karena menyederhanakan masalah-masalah fikih yang kompleks dan luas, membantu para mujtahid dalam menetapkan hukum bagi suatu masalah.

4. Kaedah-kaedah fikih digunakan sebagai panduan dalam menetapkan hukum, baik sebagai pelengkap setelah menggunakan Alquran dan Sunnah, maupun sebagai hukum yang berdiri sendiri.

5. Kesimpulan dari penjagaan al-Qawaid al-Fiqhiyyah adalah bahwa kaedah-kaedah ini menyingkapkan jalan-jalan yang ditempuh oleh para ahli fikih, memungkinkan kita untuk mencontoh metode yang mereka tempuh. Tanpa adanya kaedah-kaedah ini, hukum-hukum fikih akan tersebar tanpa ikatan dasar yang mengarahkan.

B. Saran

Tentunya pencipta telah memahami bahwa dalam penyusunan makalah di atas masih banyak terdapat kesalahan dan cukup cacat. Untuk selanjutnya penulis akan segera melakukan penyempurnaan pembuatan makalah dengan memanfaatkan kaidah dari beberapa sumber dan analisis yang membantu dari para pembaca.

8

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Muhammad Asy-Syafii, ushul fiqh al-Islami, iskandariyah muassasah tsaqofah al-Jamiiyah. 1983.

Hasbi as-siddiqy, Pengantar Hukum Islam, Jakarta: bulan bintang. 1975.

Asjmuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, Jakarta. Bulan bintang. 1976.

Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqih. Amzah: Jakarta. 1990.

http://www.slideshare.net/asnin_syafiuddin/01-02-pendahuluan oleh H. Asnin Syafiuddin, Lc. MA diposting pada tanggal 10 september 2012.

Mubarok, Jaih. Kaedah Fikih: Sejarah dan Kaidah Asasi. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002.

Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Usul Fikih, Cet. XII. Kuwait: Dar al-Qalam, 1987.

Rahman, Asjmuni A. Qoidah-Qoidah Fikih. Jakarta: Bulan Bintang, 1976.

Idrus, Achmad Musyahid. "Tradisi Penalaran Filosofis Dalam Hukum Islam." Al Daulah: Jurnal Hukum Pidana dan Ketatanegaraan 3.1 (2014): 45-65.

9


1. Sejarah Hukum Islam

 MAKALAH
SEJARAH HUKUM ISLAM


Disusun Oleh :
Muh. Farhan ( 1030012276)
Ardiansyah Saputra (10300122084)
St Salsabila Syinkar (10300122089)

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUJM
PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
T/A 2023-2024

SEJARAH HUKUM ISLAM

A. Pengertian Hukum Islam

Hukum Islam merupakan suatu kebutuhan dalam menata dan mengatur umatnya, sehingga kitab suci (al- Qur'an) diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW sebagai penyampai risalah dari Allah SWT kepada umat manusia.

Dalam menterjemahkan ketetapan hukum Allah, manusia memiliki tafsiran-tafsiran terhadap ketetapan dalam nash. Pada tahap implementasinya pun akan memiliki tahapan yang pada setiap fase memiliki karakteristik tersendiri sebagai cermin dinamika perkembangan hukum Islam. Terdapat beberapa fase historis dalam proses perkembangan hukum Islam yang antara lain dipengaruhi perbedaan ruang dan waktu di mana hukum Islam diterjemahkan dalam bentuk pemikiran dan pemahaman hukum yang kemudian berlaku dalam suatu masyarakat Islam.

Hukum Islam adalah sekumpulan aturan yang menata perilaku kehidupan umat manusia, baik itu bersifat individu maupun kelompok, oleh karakteristiknya yang serba mencukupi ini, hukum Islam menempati posisi penting dalam pandangan umat Islam. Kemapanan hukum tersebut disebabkan oleh sifatnya yang elastis dan fleksibel dalam mengatasi masalahmasalah di segala situasi dan kondisi.

Al-Qur'an adalah petunjuk dan merupakan sumber hukum yang pertama dan yang utama bagi manusia, di dalamnya terdapat ayat-ayat muhkamat, yaitu ayat yang menunjukkan kepada makna yang terang dan jelas, tidak memerlukan penta'wilan lagi. Kemudian ada ayat-ayat yang mutasyabihat, yaitu ayat yang masih samar dan belum jelas maknanya, untuk itu memerlukan penafsiran-penafsiran, agar hukum di dalamnya bisa diaplikasikan dalam realitas hidup ummat manusia. Sumber hukum yang kedua adalah al-Hadits yaitu perkataan, perbuatan dan penetapan Nabi Muhammad SAW merupakan sumber setelah al-Qur'an atau sebagai penafsir bagi al-Qur'an.

Di masa hidup Nabi SAW, umat Islam masih bersatu dalam memahami hukum, karena kekuasaan pembinaan hukum Islam pada waktu itu masih dipegang oleh Nabi sendiri. Umat Islam pada waktu itu, belum begitu berhajat atau terdesak untuk melakukan ijtihad, karena menghadapi sesuatu persoalan, mereka masih secara langsung bertanya kepada Rasulallah.

Setelah Rasulallah SAW wafat, Islam berkembang lebih luas, sehingga berhadapan dengan peristiwa-peristiwa yang tidak terdapat hukumnya di dalam al-Qur'an dan al- Hadits. Untuk itu umat Islam harus mencari ketentuan hukumnya. Maka muncullah pemikir-pemikir hukum baik di masa sahabat besar dan sahabat kecil maupun di masa tabi'in, yang kesemuanya ini membawa pengaruh besar terhadap perkembangan hukum Islam.

1.Syari'at Islam

Syari'at Islam menurut bahasa diartikan dengan:

 المذهب والطريقة المسقيم ة

artinya jalan yang lurus . Sedang syari'at menurut

istilah para ulama adalah Artinya: "Syari'at ialah apa (hukum-hukum) yang diadakan oleh Allah untuk hamba-hamba-Nya, yang dibawa oleh salah seorang Nabi-Nya SAW, baik hukum- hukum tersebut berhubungan dengan cara mengadakan perbuatan yaitu yang disebut s hukum- hukum cabang dan amalan dan untuknya maka dihimpunlah ilmu fiqh, atau berhubungan dengan kepercayaan (i'tikad), yaitu yang disebut sebagai hukum-hukum pokok dan kepercayaan, dan untuknya maka dihimpunlah kalam syari'at (syara') yang disebut juga agama (ad-din dan al-millah).

Muhammad Syaltut dalam bukunya yang berjudul al- Islam Aqidah wa Syari'ah yang dikutip oleh A. Djajuli (1987: 7), mendefinisikan syari'at Islam sebagai berikut: "Pengaturanpengaturan yang digariskan Allah SWT atau pokok-pokoknya agar manusia berpegang teguh kepada- Nya, di dalam hubungan manusia tersebut dengan Allah di dalam hubungannya dengan sesama muslim, sesama manusia dan dengan alam sekitarnya".

syari'at Islam itu adalah meliputi seluruh ajaran agama yang berkaitan dengan perbuatan lahir dan batin manusia, dengan kata lain bahwa syari'at Islam itu meliputi iman, Islam dan ihsan.

2. Hukum Islam

Hukum menurut bahasa adalah:

Artinya: "Menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakan sesuatu dari padanya"5 Adapun menurut istilah ada dua macam yaitu:

a. Ulama Ushul

Hukum yakni kitab Allah, yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan (perintah atau larangan), memilih antara mengerjakan atau meninggalkan atau menetapkan sesuatu"."

b. Ulama Fiqh

Hukum adalah kitab Allah, yang menuntut perbuatan mukallaf, sebagai tuntunan wajib, haram, mudah (boleh)."

Dari kedua definisi tersebut dapat dipahami bahwa hukum menurut ulama ushul yaitu kitab Allah, serta menjelaskan sifat-sifat perbuatan mukallaf, sedangkan ulama fiqh adalah pengaruh dari kitab Allah seperti firman-Nya:

Artinya: "Janganlah kamu mendekati zina". (QS. 17: 32) Kalam Allah ini menurut ulama ushul disebut hukum, sedangkan pengaruh dari kalam tersebut yang melahirkan haramnay zina.

3. Fiqh Islam

Fiqh Islam ini menurut bahasa diambil dari kata ) yaitu paham, kemudian Sayyid al-Jurjani dalam A. Hanafi (1970: 10) menyebutkan sebagai berikut "Fiqh menurut bahasa adalah memahami pembicaraan seseorang yang berbicara"

Menurut istilah, Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam bukunya Hasbie ash-Shiddiqie, 1975: 26, menyebutkan sebagai berikut:

Fiqh itu bermakna faham dan ilmu, akan tetapi menurut kebiasaan (urf) diartikan sebagai ilmu yang menjelaskan hukum-hukum syara' yang tertentu bagi perbuatan mukallaf, seperti: wajib, haram, mubah, sunnah, nakruh, shahih, fasid, batal, qadha, dan yang lainnya".

Dengan demikian, yang dimaksud hukum Islam dalam tulisan ini adalah hukum Islam yang mencakup arti luas, yakni segala sesuatu yang ditetapkan oleh Allah kepada hamba-Nya, baik berhubungan dengan perbuatan, keyakinan dan akhlak. Kalau pengertian hukum Islam dalam arti sempit, identik dengan pengertian fiqh, yaitu hukum-hukum syara' yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf diambil dari dalil-dalil terperinci dengan jalan istinbath.

B. Periodesasi Sejarah Pembentukan Hukum

 Islam Secara lengkap periode sejarah pembentukan hukum Islam menurut Mustafa Ahmad as-Zarqa adalah :

1. Periode pertama masa rosul. Pada periode ini kekuasaan pembentukan hukum berada di tangan rosul. Sumber hukum ketika itu adalah al-qur’an. Apabila ayat alqur’an tidak turun ketika beliau menghadapi persoalan, maka dengan bimbingan alllah Swt menentukan hukum sendiri.

2. Periode kedua masa khulafa urrasyidin sampai pertengahan abad ke-1 H.

3. Periode ketiga pertengahan abad ke-1 H sampai awal abad ke-2 H. Periode ini merupakan awal pembentukan fiqih islam. Sejak zaman Usman bin Affan para sahabat sudah banyak yang bertebaran di berbagai daerah yang ditaklukkan islam.

4. Periode keempat pertengahan abad ke-2 H sampai pertengahan abad ke-4. Periode ini disebut periode yang gemilang dikarenakan fiqih dan ijtihad semakin berkembang dan pada periode ini pula muncul berbagai mazhab khususnya mazhab yang empat.

5. Periode kelima pertengahan abad ke-7 H sampai munculnya majallah al-Ahkam al-

’Adhliyyah pada tahun 1286 H, Periode ini diawali dengan kelemahan semangat ijtihad dan berkembangnya taklid serta ta’assub (fanatisme).

6. Periode keenam sejak munculnya majallah al-Ahkam al-‘Adhliyyah sampai sekarang.

C. Hukum Islam dan Perkembangannya

Hukum Islam sebenarnya lahir berbarengan dengan lahirnya agama Islam, karena seperti diketahui bahwa Islam merupakan seperangkat aturan yang mengatur hubungan manusia dengan khaliqnya secara vertikal, manusia dengan sesamanya secara horizontal, serta manusia dengan lingkungan sekitarnya.

Dalam perkembangan berikutnya, hukum Islam tubuh dan berkembang secara bertahap, sesuai dengan perkembangan zaman serta perubahan situasi dan kondisi. Ia tumbuh dan berkembang di bumi tempat kelahirannya, yaitu semenanjung Arabia, kemudian menyebar ke seluruh penjuru dunia sejalan dengan perkembangan Islam itu sendiri.

Muslim Ibrahim (1986: 40-45) membagi perkembangannya dalam dua periode, yaitu periode sebelum abad ke-XVII H dan periode sejak abad ke-XIII H sampai dengan sekarang. Perkembangan sebelum abad ke-XIII H dibagi menjadi 4 tahap, yaitu:

1. Fase pertumbuhan, yang berlangsung selama masa kenabian atau dikenal dengan masa tanzil (turunnya wahyu).

2. Fase pembinaan, yang berlangsung pada masa Khulafa al-Rasyidin (632-661 Η).

3. Fase pengembangan, yang berlangsung pada masa Daulah Abbasiyah (661-1258/40-656 Η).

4. Fase pendalaman sekaligus masa kemunduran, yang berlangsung sejak jatuhnya Daulah Abbasiyah (1258) M/656 H), sampai dengan kehancurannya Khilafah Usmaniyah di Turki.

Perkembangan hukum Islam pada abad XIII H, dan sesudahnya ditandai dengan dimulainya kajian fiqih dalam tiga bidang, yaitu: bidang sistem mempelajari dan penulisan, perbidangan dan pengelompokkan, dan bidang penerapan serta pengkodifikasian.

Pembagian yang dilakukan oleh Muslim Ibrahim tersebut di atas, sejalan dengan pembagian yang dilakukan oleh Abdul Wahab Khallaf dalam kitabnya, Khulashah Tarikh Tasyri' alIslami, yang membedakan Periode Tafsir dan Takmıl (Penafsiran dan Penyempurnaan), Periode Tadwin (pembukuan) dan munculnya para imam madzhab, yang berlangsung sejak tahun 1000-350 H.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa perkembangan hukum Islam sejalan dengan perkembangan sejarah Islam yang mengalami pasang surut. Kemunduran dunia Islam yang terjadi di penghujung kekuasaan Abbasiyah dan masa sesudahnya, mengakibatkan tidak berkembangnya ilmu fiqh, sehingga dianggap kaku, jumud dan tidak tanggap.

D. Karakteristik Hukum Islam

Hakikat hukum Islam itu tiada lain adalah syari'ah itu sendiri, yang bersumber dari al-Qur'an, Sunnah Rasul dari al-Ra'yu Doktrin pokok dalam Islam itu sendiri yaitu konsep tauhid merupakan fondasi dalam struktur hukum Islam, yaitu hubungan hablun win Allah (hubungan vertikal), dari hablun Min al-nas (hubungan horizontal), al-anirit bil nia'ruf wa alnahyu almunkar, taqwa, adil, dan bijaksana serta mendahulukan kewajiban daripada hak dan kewenangan. maka terdapat lima sifat dan karakteristik hukum Islam yaitu:

1. Sempurna.

 Syari'at Islam diturunkan dalam bentuk yang umum dari garis besar permasalahan. Oleh karena itu hukum-hukumnya bersifat tetap, tidak berubah-ubah lantaran berubahnya masa dari berlainannya tempat. Untuk hukum-hukum yang lebih rinci, syari'at islam hanya menetapkan kaedah dan memberikan patokan umum. penjelasan dan rinciannya diserahkan pada ijtihad pemuka masyarakat .

 Menurut M. Hasbi AshShiddieciy, salah satu ciri hukum Islam adalah takamul yaitu, lengkap, sempurna dan bulat, berkumpul padanya aneka pandangan hidup. Menurutnya hukum Islam menghimpun segala sudut dan segi yang berbeda-beda di dalam suatu kesatuan karenanya hukum Islam tidak menghendaki adanya pertentangan antara Ushul dengan Furu', tetapi satu sama lain saling lengkap-melengkapi kuat-menguatkan. 7

2. Elastis

 Hukum Islam juga bersifat elastis (lentur, Luwes), Ia meliputi Segala bidang dan lapangan kehidupan manusia,. Hukum Islam memperhatikan berbagai segi kehidupan baik bidang muamalah, ibadah, jinayah dan lain-lain. Meski demiklan ia tidak memiliki dogma yang kaku, keras dan memaksa. Hukum Islam hanya memberikan kaidahkaidah urn urn yang mesti dijalankan oleh umat manusia.

  Sebagai bukti bahwa hukum Islam bersifat elastis. Dapat dilihat dalam salah satu contoh dalam kasus jual beli; bahwa ayat hukum yang berhubungan dengan jual bell (Q.S. alBagarah (2): 275, 282, Q.S. an-Nisa' (4): 29, dan Q.S. (62): 9). Dalam ayat-ayat tersebut diterangkan hukum bolehnya jual beli, persyaratan keridhaan antara kedua belah pihak, larangan riba, dan larangan jual beli waktu azan Jum'at. Kemudian Rasul menjelaskan beberapa aspek jual beli yang lazim berlaku pada masa beliau. Selebihnya, tradisi atau adat masyarakat tertentu dapat, dijadikan sebagai bahan penetapan hukum jual beli.

3. Universal dan Dinamis.

 Ajaran Islam bersifat universal. Ia meliputi seluruh alam tanpa tapal batas, tidak dibatasi pada daerah tertentu seperti ruang lingkup ajaranajaran Nabi sebelumnya. Berlaku bagi orang Arab dan orang `Ajam (non Arab). Universalitas hukum Islam ini sesuai dengan pemilik hukum itu sendiri yang kekuasaan tidak terbatas. Di samping itu, hukum Islam mempunyai sifat yang dinamis (cocok untuk setiap zaman).12

 Hukum Islam memberikan kepada kemanusiaan sejumlah hukum yang positif yang dapat dipergunakan untuk segenap masa dan tempat. Dalam gerakannya hukum Islam menvertai perkembangan manusia, mempunyai kaidah asasiyah, yaitu ijtihad. Ijtihadlah yang akan menjawab segala tantangan masa, dapat memenuhi harapan zaman dengan tetap memelihara kepribadian. dari nilai-nilai asasinya.13

4.Hukum Islam bersifat Ta'aquli dan Ta'abbudi

Sebagaimana dipahami bahwa syari'at Islam mencakup bidang mu'amalah dan bidang ibadah. Dalam bidang ibadah terkandung nilai-nilai ta'abbudil ghairu ma' qulah al ma'na (Irasional), artinya manusia tidak boleh beribadah kecuali dengan apa yang telah disyari'atkan dalam bidang ini, tidak ada pintu ijtihad bagi umat manusia. Sedangkan bidang muamalah, di dalamnya terkadang nilai-nilai ta'aquli/ma’aqulah al-ma’na (rasional). Artinya, umat Islam dituntut untuk berijtihad guna membumikan ketentuan-ketentuan syari'at tersebut.

Dengan demikian hukum Islam yang bersifat irasional, aturanaturan hukum Islam itu sah atau baik, karena semata-mata eksistensi kebajikan yang terkandung di dalamnya, bukan karena rasionalitasnya.

Selanjutnya ciri-ciri kekhusushukum Islam yang membedakannya dengan hukum lain, adalah:

1. Hukum Islam berdasar atas wahyu Allah AWT, yang terdapat dalam al-Qur'an dan dijelaskan oleh Sunnah Rasul-Nya.

2. Hukum Islam dibangun berdasarkan prinsip akidah (iman dan tauhid) dan akhlak (moral).

3. Hukum Islam bersifat universal (alami), dan diciptakan untuk kepentingan seluruh umat manusia (rahmatan lil 'alamin).

4. Hukum Islam memberikan sanksi di dunia dan sanksi di akhirat (kelak).

5. Hukum Islam mengarah kepada jama'iyah (kebersamaan) yang seimbang antara kepentingan individu dan masyarakat.

6. Hukum Islam dinamis dalam menghadapi perkembangan sesuai dengan tuntutan waktu dan tempat.

7. Hukum Islam bertujuan menciptakan kesejahteraan di dunia dan kesejahteraan di akhirat.

DAFTAR PUSTAKA

abdul karim zaidan. 1989. “Sejarah Hukum Pidana Islam.” Bulan Bintang.

Anas, Anwar, Muannif Ridwan, Raden Dimas Ari Wibowo, Dedy Suryadana, and Asseri.

2022. “Sejarah Perkembangan Hukum .” Jurnal Indragiri Penelitian Multidisiplin 2 (3): 164–71. https://doi.org/10.58707/jipm.v2i3.215.

Ash-Shiddiqie, Hasbie. 1987. “Al-Qur’an Dan Terjemahnya.” Penerbit Mahkota.

Dewi, Indasari. 1972. “Sejarah Pembentukan Hukum Islam.”

Saepuddin, Asep. 1984. “Pengembangan Syari’at Islam.” Mahkota.

https://journal.iain-manado.ac.id/index.php/JIS/article/download/218/191


7.Pembentukan Kaidah Fiqih dalam Mazhab

 MAKALAH PEMBENTUKAN KAIDAH FIQIH DALAM MAZHAB Dosen pengampu: Prof. Dr. Achmad Musyahid, M.Ag DISUSUN OLEH: FAZA FAUZA KHARISMI HM (103001...